Liontin Kupu-Kupu


Ini bagian III, sebelum lanjut. Yuk, ke BAGIAN II dulu


Bagian III


Cerdas cermat berlangsung alot. Team Nina dan Team Tasya hampir sama kuat. Tapi di akhir pertanyaan Gina dari Team menjawab pertanyaan terakhir yang kemudian menjadikan Nina dan Team menjadi juara 1. Aku menyalami Nina, Gina dan Pandu untuk memberikan selamat. Nina memelukku
            “Terimakasih Buk, berkat Ibu Nina dan teman-teman juara1”
            “Enggak sayang. Kalian emang pinter dan hebat”
            “Nina tersenyum lebar sekali”
            “Selamat Princess Papa” ujar seorang laki-laki dari arah yang berlawanan denganku
            “Papa” ujar Nina sembari sedikit berlari kearah Papa dan Bundanya
            “Selamat ya sayang. Papa bangga sama Kamu”
            “Terimakasih Pa”
            “Bunda juga bangga sama Nina. Pinter”
            “Yun” sapa Pak Tama
            “Iya Pak” jawabku sambil tersenyum. Senyum kecut tentunya
            “Terimakasih ya Yuni, ini juga berkat andilmu” ucapnya
            “Iya bu Yuni. Terimakasih sudah membantu putri semata wayangnya Mas Tama dengan sangat baik hingga bisa menyabet juara 1” sambung Bunda Nina
            ‘Maksudnya apaan nih?’ tanyaku dalam hati ‘Nina ini bukan anaknya? Pak Tama bukan suaminya? Gimana sih maksudnya?’ aku heboh sendiri bersaut-sautan dengan hatiku tanpa memikirkan bahwa Pak Tama memanggilku beberapa kali. Aku baru tersadar begitu (Bunda-nya Nina) menyentuh pergelanganku karna aku tidak bereaksi ketika Pak Tama memanggil
            “Bu”
            “Eh iya Bun. Kenapa?” tanyaku terkejut
            “Kamu melamun Yun?” tanya Pak Tama “Tidak biasanya” ujarnya lalu tertawa, disambut tawa Olin “Iya ya Mas”sambung Olin
            “Ma maaf pak. Ada apa?”
            “Nanti malam kamu kerumah ya. kami berencana mengadakan malam malam sedikit nanti”
            “Iya bu Yuni, dateng ya Bu” sambung Olin
            “Iya Pak Bun” jawabku singkat

...
            Motorku masih berjarak 500 meter dari rumah Nina. Kulihat sudah banyak mobil terparkir. ‘Wah, untuk merayakan keberhasilan Nina juara cerdas cermat yang hanya tingkat sekolah acaranya sampai segini mewah ya. Orang kaya suka tidak bisa ditebak. Bisa mengeluarkan uang untuk hal yang menurut orang sederhana sepertiku bukan hal besar yang butuh pesta’ ujarku dalam hati
Aku memarkirkan motorku di parkiran yang disediakan panitia. Sekitar 200 meter dari rumah Nina. Karna gerbang depan nya sudah di dekor dengan hiasan yang hampir seperti acara nikahan. Lalu masuk ke gerbang depan. Dua orang penjaga tamu mengenakan dress warna cream selutut dengan riasan yang menambah kesan bahwa acara ini bukan seperti acara anak seusia Nina
“Undangannya kak” ujar seorang wanita berponi
            “Undangan?” tanyaku “Saya gak ada undangan mbak, memang pakai undangan ya?” tanyaku lagi. Aku semakin bingung bahwa acara syukuran menang lomba Nina bahkan sampai pakai undangan
“Jika tidak bawa undangan, maaf mbak gak boleh masuk ya” ucap wanita satu lagi dengan sopan
            “Ohiya gapapap” jawabku lalu berbalik untuk kembali pulang
            “Yun” seru Pak Tama
            “Mba, dia tamu saya” ucap pak Tama pada dua wanita penjaga tamu
            “Oh Maaf pak”
            “Yaudah Gapapa”
            “Yun, maaf ya. Saya lupa kasih undangan ke kamu” lalu Pak Tama meraih tangank dan membawaku masuk
Begitu sampai dipintu masuk aku melepaskan tanganku
“Eh maaf Yun” ucapnya, aku tidak menjawab
            “Acara untuk syukuran Nina gede ya Pak” ucapku tanpa bisa menyembunyikan keherananku
            “Syukuran Nina?” tanya Pak Tama heran
            “Iya” ucapku “Syukuran kemenangan Nina atas lomba cerdas cermat” sambungku
Pak Tama tertawa lepas, membuat beberapa tamu memandang kearah kami berdua. “Maksud kamu saya membuat acara sebesar ini untuk kemenangan Nina lomba cerdas cermat?” tanyanya. Aku mengangguk perlahan
            “Saya tidak sekaya dan tidak seroyal itu Yuni. Untuk apa acara syukuran Nina sampai pesta segala. Ini acaranya Olin yang kebetulan tadi Nina menang lomba cerdas cermat” jelasnya
            “Acara Olin?”
            “Ya”
            “Olin siapa?”
            “Bunda-nya Nina”
            “Bunda-nya Nina?” tanyaku semakin bingung
            “Ya” jawabnya singkat
            “Acara apa?” tanyaku lagi
            Pak Tama mengarahkan telunjuknya pada backdrop dedaunan di arah kanan kami. Lalu aku mengikuti arah yang ditunjuk dan membaca “Enggagement Olin dan Sandri” ‘tunangan?’ tanyaku dalam hati
            “Tunangan Pak?”
            “Ya”
            “Siapa?” tanyaku penuh kebingungan
            “Ya Olin”
            “Bukannya dia istri Bapak?” tanyaku polos
            Haha bukan Yuni, Olin itu adek kandung saya. Nina memang memanggilnya Bunda karna Nina tidak lagi mengenal sosok ibunya sejak usia 3 tahun. Olin yang membantu saya membesarkan Nina sejak Mamanya pergi
            “Oh” jawabku singkat. Rasanya lega dan sangat gembira. Sebuah batu yang sangat amat besar dan berat menimpa dadaku seperti hilang. Entah kenapa dan entah dasar apa. Apa aku benar-benar menyukai lelaki ini sejak pertama kali bertemu? Apakah aku benar-benar menumbuhkan harapan lain selain antara guru dan walimurid dengan Pak Tama? Ada apa? Jarak usiaku dengannya hampir 13 tahun, status sosial ku dengannya juga berbeda jauh. Juga banyak ketimpangan lain yang mungkin tidak bisa di satukan
            “Yun” tanya Pak Tama melambaikan telapak tangannya diwajahku
            “Ya Pak”
            “Melamun lagi?” tanyanya. Aku hanya balas dengan senyum
...
            Aku duduk disebuah kursi panjang dengan sepiring buah. Acara pertunangannya berlangsung meriah dan bahagia. Olin sangat senang, kulihat ia tak berhenti tersenyum sambil menyalami tamu yang hadir. Potongan melon dan Semangka ditanganku ini terasa sangat manis. Aku juga tersenyum lega dan bahagia. Lega dan bahagia pada hal yang tidak jelas apa.
...
            Malam itu malam terakhir aku mengajar Nina Private. Bukan karna Nina mendapatkan guru baru. Tapi karna ada program belajar tambahan di sekolah untuk siswa kelas 6 memasuki persiapan masa Ujian Nasional. Sehingga Pak Tama memutuskan untuk tidak menghentikan Private Nina karna tidak mau Nina terlalu keras belajar hingga kekurangan waktu istirahat dan bermain di usia nya
            “Nina sebenarnya masih mau Private sama Ibu, tapi Papa bilang udahan. Nanti kalau Nina SMP cari guru Private lagi mau ya Ibu mengajar Nina” ucapnya setelah belajar
            “Iya boleh sayang” aku menjawab lirik sekali, aku merasa sedih berpisah dengan gadis cantik nan baik hati ini
            “Nina udah sayang sama Ibu”
            “Iya ibu juga sayang sama Nina” jawabku nyaris menangis
            “Bu tunggu ya” ujarnya lalu beranjak dari duduk dan berjalan menuju kamarnya “Ini untuk Ibu” ucapnya sambil menyerahkan sebuah kado dibungkus dengan box ungu berpita emas
            “Apa ini sayang?” tanyaku
            “Untuk Ibu dari Nina. Papa bilang kalau kita berjuma dan dekat dengan seseorang sebelum berpisah harus kasih sesuatu untuk mengikat hubungan agar tidak putus” jawabnya menjelaskan
            “Wah ibu gak kasih apa-apa buat Nina”
            “Ibu udah kasih Nina illmu yang banyak banget, ga bisa di ukur pakai uang” jawabnya membuatku terharu
            “Makasih ya sayang”
            “Sama-sama Ibu” jawabnya langsung memelukku, kuusap kepalanya
            “Wah kenapa nih?” sambung seorang lelaki dari dalam kamar
            “Kan hari ini Buk Yuni terakhir ngajar Nina Pa” jawab Nina aku hanya tersenyum
            “Ohiya ya Buk, sebentar ya” jawab Pak Tama lalu masuk lagi kedalam kamar dan membawa sebuah amplop “Ini uang Private Nina bulan ini Buk”
            Aku menerima amplop tersebut “Terimakasih Pak”
            “Iya sama-sama”
            “Buk, Nina masuk kamar ya. Pa Nina masuk ya Pa” jawab Nina sambil menenteng buku pelajarannya
            “Iya sayang” jawab  kami bersamaan. Lalu pak Tama memandangku dan tersenyum
            “Yuni”
            “Ya pak” jawabku merasa sangat canggung
            “Mau temani saya makan sate di simpang situ?” tanyanya kemudian
Aku berfikir lagi, terakhir kali beliau mengajakku aku merasa amat sakit hati dan tidak pantas dengan ajakan beliau. Karna mengira Olin adalah ibu kandung Nina. Kali ini aku merasa amat canggung dan entah sejak kapan jantungku berdetak amat kencang. Tidak memberikanku jeda untuk mengaturnya.
“Yun?” pak tama membuyarkan lamunanku
            “Iya pak”
            “Gimana?”
            “Boleh pak”
            “Kita pakai mobil saja ya nanti motormu tinggal disini dulu, saya gak enak goncengan kalau pake motor kamu”
            “Ya pak boleh”
            “Tunggu ya saya ambil kunci dulu” lalu Pak Tama mengetuk kamar Olin dan pamit keluar, Olin memandang kearahku sebentar dan tersenyum lalu mengedipkan mata kearah Pak Tama, pak Tama hanya membalas dengan senyuman
            “Ayok Yun” ajaknya lalu mengunci pintu depan
Aku duduk disamping pak Tama dan tidak berbicara sepatah katapun. Perjalanan yang hanya lima menit terasa hampir 5 jam. AC mobil tidak terasa sejuk sama sekali, bahkan aku merasa sedang di sauna. Panas dan sesak. Kenapa denganku? Kami hanya makan sate yang jaraknya tidak lebih dari 6km.
“Kamu ga mau turun Yun?” tanya pak Tama mungkin untuk beberapa kali
            “Eh maaf pak” lalu aku turun dengan tergesa-gesar menyebabkan rok depanku terpijak dan membuatku terjatuh.


Eh, masih ada kelanjutannya nih di BAGIAN IV

Liontin Kupu-Kupu


Ini bagian II, sebelum lanjut. Yuk, ke BAGIAN I dulu


Bagian II


“Tama” ucapnya mengulurkan tangan lalu kuterima
“Yu. Yuni pak” jawabku gugup, lelaki yang kujabat tangannya adalah lelaki yang menolongku mengeluarkan motor dari parkiran CFD beberapa tahun silam dan anak yang kuajar barusan bisa jadi adalah anak yang waktu itu ia pegang tangannya
“Ohiya bu Yuni untuk pembayarannya ibu minta di muka apa dibelakang?” tanyanya
“Saya bayar akhir bulan saja pak” jawabku
“Untuk hari belajarnya apa bisa Senin-Jum’at? Karna Nina weekend harus libur dari belajar” jelasnya “Lagipula kamu juga masih lajang. Tentu perlu keluar dihari weekend bukan?” ucapnya lalu tersenyum
Kujawab dengan senyuman “Bisa pak. Senin – Jum’at”
‘DEAL” ujarnya
            Hari itu pikiranku campur aduk. Aku pernah beberapa kali berharap bertemu kembali dengan lelaki itu yang ternyata adalah Ayah dari murid Privatku. Doaku diijabah ketika mengantar lamaran disekolah. Lalu siapa sangka, doaku diijabah plus bertemu dengan istri dan anaknya. Bagaimana rasanya?
            Begitu motorku keluar dari halaman rumahnya, aku berbalik dan memandang kembali rumah yang baru saja membuatku setengah Shock. Aku akan kerumah ini 5 hari dalam seminggu juga pasti beberapa kali akan bertemu dengan Pak Tama. Detik kemudian aku menggeleng-gelengkan kepalaku “Duh apasih yang aku fikirkan”. Aku lalu menarik gas motorku dan kembali pulang
...
            Aku tengah mengajar Nina ketika Pak Tama duduk di kursi yang berhadapan denganku. Aku memandang sekilas, kulihat Pak Tama tersenyum. Setelah kubalas kemudian melanjutkan mengajar Nina. Beliau memang sering memperhatikan aku ketika mengajar putrinya. Beliau pernah bercerita bahwa beliau tidak punya banyak waktu untuk memberikan Nina perhatian. Selain mengajak Nina bermain di hari Minggu tidak ada waktu lain. Karna beliau juga sibuk dengan pekerjaannya. Aku memaklumi.
            Setelah Nina selesai belajar ia menyalami tanganku.
            “Bu, Nina masuk duluan ya”
            “Iya Sayang” Jawabku. Lalu Nina pun masuk kedalam kamar
            “Kamu mau langsung pulang Yun?” tanya pak Tama “Ini Gajimu bulan ini” ujarnya sembari menyodorkan sebuah amplop
            “Terimakasih Pak” balasku
Beberapa waktu kemudian Ibunya Nina keluar membawa secangkir Lemon Tea untuk suaminya. “Ini teh nya Mas. Aku kekamar ya gak bisa temani ngobrol” lanjutnya
“Iya ga masalah. Banyak tugas ya?”
“Seperti biasa” jawab wanita itu “Diminum tehnya Bu Yuni” ujarnya sembari tersenyum dan kembali masuk kekamar

“Usia Kamu berapa Yun?” tanya Pak Tama kemudian
“23 Pak” jawabku
“Wah masih muda sekali ya” jawabnya “Saya tahun ini 36” ujarnya kemudian sambil tertawa. Aku hanya tersenyum
“Orangtua kamu dimana?”
“Dua-duanya sudah meninggal Pak”
“Innalillahi. Wah saya minta maaf Yun. Tidak seharusnya saya bertanya”
“Gapapa Pak”
“Wah suasananya jadi gak enak ya” ucapnya
“Jadi kamu disini nge-kost?” tanya nya kemudian
“Iya Pak”
“Adik beradik berapa?”
“Saya sendiri pak, anak tunggal” jawabku
Malam itu pak Tama tampak seperti seorang teman yang ingin mengenalku. Beliau bercerita tentang masa-masa kuliahnya yang juga berliku. Berjualan banyak barang untuk bisa bertahan dan menjadi seorang sarjana. Juga cerita tentang ibunya Nina yang super baik dan mau menerima dari awal karirnya dimulai
...
            Hari berganti dan Nina sudah duduk dibangku kelas 5 sekarang. Aku masih menjadi guru Private nya. Nina merasa cocok diajar denganku dan aku juga merasa cocok dengan Nina, selain Nina gak banyak tingkah Nina juga gampang menerima apa yang aku ajarkan. Waktu belajar Nina juga sudah berganti. Dari Senin-Jum’at menjadi Senin, Rabu, dan Jum’at.
            Nina akan ada cerdas cermat disekolah hari Minggu dalam rangka ulangtahun sekolah. Pak Tama menghubungiku pukul 16:00 WIB
            “Hallo Yuni”
            “Hallo Pak. Ada apa?”
            “Kamu malam ini sibuk?”
            “Tidak pak ada apa?”
            “Nina bilang besok ada lomba cerdas cermat disekolah”
            “Ohiya pak. Nina juga peserta. Ada apa?”
            “Nina ingin review pengetahuannya tapi saya tidak bisa menemani belajar. Karna ada kerjaan sampai malam. Kamu bisa kerumah belajar tambahan? Nanti saya hitung lembur”
            “Oh  bisa pak. InshaaAllah nantik saya kerumah”
            “Terimakasih Yun. Assalamualaikum”
            “Walaikumsalam” jawabku
...
            Nina begitu antusias dengan cerdas cermat besok. Pengetahuan umum dan khusus sudah dipelajarinya dengan baik. Semua kisi-kisi yang menyangkut tema cerdas cermat juga dihafal nya dengan baik. Sebenarnya aku bahkan tidak membantu banyak untuk persiapannya. Nina sudah prepare sendiri
            “Wah kalau seperti ini Nina bisa juara besok” ujarku
            “Serius Bu?” tanyanya, kulihat matanya berbinar cantik sekali anak ini fikirku dalam hati
            “Iya serius dong. Besok Nina tim siapa?” tanyaku
            “Pandu sama Gina Bu” jawabnya
            “Assalamualaikum” ucap seseorang dari luar
            “Papa” jawab Nina
            “Walaikumsalam” jawabku juga Nina bersamaan, Nina mengulurkan tangan menyalami Ayahnya
            “Wah, Anak Papa udah ready untuk besok?” tanya nya menyambut tangan Nina sambil mengusap kepala Nina
            “Udah dong Pa” jawab Nina “Nina masuk kamar ya Pa”
            “Ya sayang”
            “Terimakasih Yun, sudah membantu Nina” ucap Pak Tama lalu duduk di hadapanku
            “Saya tidak membantu banyak Pak, Nina sangat antusias dan semangat saya hanya mengimbangi saja”
            “Ya tetap saja. Kamu sudah mengorbankan weekend-mu demi mengajari Nina”
            “Saya malah senang karna sejujurnya saya tidak pernah kemana-mana sabtu dan minggu jika tidak ada undangan walimahan dari teman Pak”
            “Oh begitu”
            Kulihat Pak Tama mengangguk-angguk lalu memandangku. Untuk sekian menit mata kami saling pandang. Kuperhatikan wajah lelaki yang pernah menjadi sangat ingin kutemui lagi 4 tahun silam. Hangat dan sangat bersahaja. Lelaki yang pernah sering kudoakan tanpa mengetahui identitasnya. Setelah kembali bertemu, ternyata jarak antara aku dengan lelaki ini justru dibentengi tembok tinggi yang tidak mampu untuk diruntuhkan. Aku hanya seorang guru Private untuk anak semata wayangnya. Putri cantik yang pasti sangat beliau sayang, begitu juga dengan istrinya. Istri? ‘Astaghfirullah apa yang tengah kubayangkan barusan?’ ucapku dalam hati. Kuturunkan pandanganku pada hal yang tidak seharusnya kuperhatikan.
            Kunaikkan (sekali lagi) pandanganku mengarah pada sesosok lelaki dihadapanku. Ia masih memandang kearahku. Lalu aku berinisiatif berdiri untuk kembali kekos. Kulirik jam tanganku, sudah hampir pukul 21:00 WIB
            “Sudah mau pulang Yun?”
            “Ya Pak, sudah hampir jam 9 malam”
            “Mau makan sate di simpang situ?” ujarnya menawariku
            “Ha? Kenapa maksudnya?” tanyaku mengulang. Lebih tepatnya memastikan bahwa aku tidak salah dengar
            “Mau makan sate disimpang depan situ?” ulangnya lagi
            “Ke kenapa pak?” tanyaku gugup
            “Ya gak kenapa-kenapa. Kalau kamu risih mau langsung pulang ya silahkan” ucapnya sembari tersenyum
            Aku berfikir beberapa kali. Masih memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Kucubit lengan kiriku ‘aw, sakit’ pikirku ‘artinya aku tidak bermimpi’ fikirku lagi
            “Saya sudah lama tidak makan sate disimpang situ” ucap Pak Tama lagi “Mau makan disitu kadang suka aneh sendirian. Makanya saya ajak kamu. Maaf kalau saya kurang sopan”
            “Bukan begitu Pak. Tapi Ibu” ucapku, berharap bahwa Pak Tama hanya becanda dengan ajakannya
            “Ibu? Ibu siapa?”
            “Maaf. Maksud saya Bunda-nya Nina”
            “Oh Bunda Nina lagi ada yang di urus untuk besok”
            ‘sial’ fikirku dalam hati, jadi karna istrinya sedang tidak dirumah dia seenaknya mau mengajakku makan malam berdua. Kufikir lelaki ini, lelaki baik-baik tapi ternyata dia tidak ada bedanya dengan lelaki lain yang mata keranjang.
            “Maaf Pak tapi tidak etis bagi saya pergi dengan Bapak sementara Bunda-nya Nina sedang tidak dirumah”
            “Loh kenapa?”
            “Saya permisi” ucapku lalu pergi tanpa menunggu lelaki itu menjawab. Emosiku mendadak naik sampai keubun-ubun. Mengingat caranya mengajakku. 




Ada kelanjutannya nih, yuk ke BAGIAN III