APRIL - DESEMBER (Chapter IV)

Chapter IV

DESEMBER
            Masih belum dapat kupercaya bahwa barusan saja: beberapa menit, yang lalu aku duduk berhadapan dengan pria paling menarik yang pernah kukenal dan mengenalku sepanjang sejarah aku hidup di dunia ini. Ini sungguh terkesan lebay, tapi kenyataannya adalah sama: seperti kelebayanku ditiga barisan paragraf ini.
            Tanpa kuatur sebelumnya, alam bawah sadarku memaksa untuk tersenyum meski syaraf-syaraf diwajahku menolaknya. Kupandangi wajahku di spion motor sebelah kiri, lagi-lagi wajahku sedang dalam kondisi tidak bisa menerima atau bertemu dengan sesiapapun. Dengan wajah hampir seburuk rupa ini ditambah gundukan-gundukan merah merekah segede upil yang senantiasa setia menemani hari-hariku beberapa waktu belakangan. Baca: jerawat.
APRIL
            Mama mengirimkan pesan sesaat setelah telfonnya tidak sengaja ku reject. Pril, mama udah selesai. Kamu dimana? Yang kemudian kubalas dengan cepat secepat aku mengatakan Saya sudah harus pergi, terimakasih telah bersedia menemuiku hari ini dan sampai jumpa lain waktu kepada wanita dihadapanku, sembari beranjak dan meninggalkannya tanpa sempat melihat respon dan ekspresi wajahnya.
            Aku berjalan sedikit berlari kearah mobilku yang terparkir, khawatir jika mama menunggu lama dan lebih mengkhawatirkan lagi jika mama ‘tidak sengaja’ melihatku keluar dari KFC. Akan ada banyak pertanyaan yang harus kujawab jika yang kufikirkan barusan benar-benar terjadi. Namun pertanyaan yang paling ingin kuhindari tentu saja: siapa wanita yang kamu temui?. Jika dengan terpaksa mama harus mendengar penjelasanku tentang pertemuanku dengan seorang wanita yang tidak spesial sama sekali
DESEMBER
            UR sangat ramai jam segini, ada banyak orang yang memilih tempat ini untuk menghabiskan senja. Ada anak-anak yang menggunakan playground UR, pemuda-pemudi berusia setara memanfaatkan saung UR dan Waduk UR sebegai tempat pertemuan. Hari ini, aku seperti ditarik dalam sebuah kondisi yang mewajibkan aku untuk mempercayai bahwa aku tidak bermimpi. Lagi dan lagi, adalah satu kesalahan mengapa aku harus menerima tawarannya untuk bertemu. Dan yang lebih fatal adalah mengapa aku harus mengenakan pakaian seadanya untuk bertemu dia yang luar biasa.
            Sedetik kemudian imajinasiku bermain dengan sinetron berjudul “kisah cinta pembantu dan majikan”. Persis seperti penampakan di KFC tadi, duduk berhadapan dengan lelaki berkemeja biru dan celana panjang. Sudah jelas bahwa aku adalah pembantu dan dia adalah majikan.
...
APRIL
            Rutinitasku masih sama, kantor-rumah-kantor-rumah. Begitu seterusnya, mungkin sampai lalat berubah menjadi nyamuk yang suja begadang. Kurogoh kantong celana dinasku. Beberapa menit kemudian jari-jariku berhenti mengotak atik android ditanganku, sebuah pesan diperbaharui oleh sebuah akun. Akun yang saat ini tak lagi asing bagiku, aku wanita itu: Wanita berkulit gelap berkemeja pink tempo lalu di pustaka wilayah.
            “Majikan dan Aku si pembokat”
            Beberapa menit kemudian kuputuskan untuk menghubunginya (lagi). Bisa kita bertemu lagi? Pesanku singkat
            Beberapa menit kemudian ada balasan, ya boleh, kapan dan dimana mas? Ku pandangi pesan balasan si wanita ini: apakah maksudnya kami: aku dan dia. Berangkat masing-masing? Kukernyitkan dahiku, biasanya wanitaku sebelumnya membalas dengan kalimat: ya, nanti jemput jam berapa?
            Tidak hanya redaksinya berbeda, wanita ini kupastikan memang tidak seperti wanitaku sebelumnya: si wanita satu-satunya. Maklum, perbedaan usiaku dengannya hampir jauh.
            Malam ini. Saya jemput saja, rumah kamu dimana? Tanyaku tanpa basa-basi
            Lama tak ada balasan. Setengah jam kutunggu jawabannya. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak penting bagiku, dimasa lalu: menunggu balasan pesan singkat seorang wanita tanpa manfaat. Hingga akhirnya kuputuskan untuk merebahkan diri dan tidur
DESEMBER
            Lelaki sempurna yang kujumpai beberapa waktu lalu mengajakku berjumpa lagi. Kubalas saja dengan kalimat ya boleh, kapan dan dimana mas? Untuk memastikan tempat pertemuan kami. Ku tau ia lelaki yang tidak banyak basa-basi.
            Beberapa menit kemudian ia membalas dengan sebuah kalimat yang membuatku hampir shock: sedikit~
            Kukucek mataku berkali-kali, isi pesan itu tidak berubah: masih sama. Malam ini, Saya jemput saja, rumah kamu dimana?
APRIL
            Mama sudah duduk ditepi tempat tidur ketika aku terbangun. “Ada apa Ma?”
 
Tanyaku ketika nyawaku sudah kembali ke badan sepenuhnya. “Temani mama nyari kain yuk Pril, pasar bawah situ”. Pinta wanita secantik bidadari yang selalu kujatuh cintai setiap waktu dihadapanku ini
            Tapi aku ingat bahwa sebelum tidur tadi sempat mengajak wanita bernama desi itu bertemu. Kuraih handphoneku di meja lampu samping tempat tidurku. Benar saja, wanita itu membalas pesanku Perumahan graha mustamindo permai, perumahannya depan SPBU rimbo panjang yang deket UIN di batas kota itu mas. Masuk aja, sampai ketemu warnet mawaddah sebelah kanan. Kos esi di belakang warnet itu
            Panjang lebar wanita itu menjelaskan alamat rumahnya, eh maksudku kost nya. Yang kubalas dengan jawaban ok, lepas maghrib saya kesitu.
            Next time aja gimana Ma. April mau jumpa temen malam ini” ucapku sama Mama, padahal jam baru menunjukkan pukul 2 siang. Masih ada waktu untuk menemani mama belanja kain. Hanya saja, aku sedang malas berdempet-dempetan di pasar bawah tempat ibu-ibu berburu kain dan segala jenis perlengkapan kewanitaan dan dapur
            Mau ketemu siapa Pril? Tanya mama setelah meng-iya-kan kalimatku
            Temen Ma. Ucapku memudar hampir tidak terdengar, aku menyadari satu hal: aku bahkan tidak punya teman yang bisa sepribadi itu untuk kutemui tanpa membawa serta Mama
            Kupandang wajah Mama sebentar, seakan menjelaskan dengan sepenuh hati bahwa ada teman yang ingin kutemui. Teman yang tidak seharusnya Mama kenal karna bukan seperti teman yang Mama bayangkan: hanya kenalan tanpa anggapan apapun
            Mama tidak bersuara lagi, melangkah menuju pintu kamar. Ya Next time saja Pril kalau ga bisa malam ini
DESEMBER
            Kujelaskan alamat kost-ku sedetail mungkin kepada pria diseberang sana. Masih sama- dalam keadaan yang hampir tidak bisa kupercayai bahwa dia: lelaki itu, beberapa menit lagi akan datang kesini menjemputku untuk bertemu
            Kali ini aku mengenakan setelan kemeja berwarna hitam dengan bawahan rok panjang warna senada dan jilbab berwarna merah. Entah mengapa, bagiku perpaduan merah-hitam atau pink-hitam adalah perpaduan yang sempurna.
            Sambil menunggu lelaki itu datang aku memutar beberapa drama korea yang sudah pernah aku tonton. Kost-ku begitu sepi, teman sekamarku pulang ke-Duri setelah KKN berakhir. Begitu juga dengan teman dekatku-ayu: penghuni kamar sebelah. Adik-adik tingkat sudah libur semester dan kenaikan semester baru belum dimulai. Alhasil, sama seperti libur-libur pada semester sebelumnya, hanya aku yang bertahan di kost dengan keadaan sepi: kosong tak berpenghuni.
            ”Saya didepan”sebuah pesan masuk mengejutkanku yang tengah menunggu telfon dari sipemilik nomor diseberang sana
APRIL
            Aku sudah sampai disebuah kos berlantai 2 berwarna cream seperti yang dijelaskan oleh wanita itu. Sebentar kuperhatikan kos disampingku dari dalam mobil, sepi.. sepi sekali.. sangat sepi sekali ucapku beberapa kali. Hanya lampu teras yang menyala, dari ventilasi udara dapat kupastikan bahwa lampu ruang depan mati serta lampu lainnya. Kubatalkan untuk melayangkan fikiranku tentang kos yang sepi dan berhantu disampingku ini, kuambil handphonku di dashbor dan mengirimkan pesan singkat kepada wanita itu “saya didepan”
            Beberapa menit kemudian, pintu depan terbuka. Seorang wanita yang kini wajahnya sudah kukenal keluar dengan menjinjing sepatu sportnya. Bersorak “tunggu sebentar ya mas” kemudian duduk dan memasang sepatunya. Kulihat dari mobilku setelah mengatakan ‘ya’ atas jawaban: oke, kutunggu kamu hingga selesai memasang sepatu.
            Tidak sampai lima menit, wanita itu mengambil sesuatu dari tas kecilnya dan mengunci pintu depan dengan santai dan melenggang kearah mobilku.          “langsung pergi kan?” tanyaku berbasa-basi: padahal sudah jelas, langsung pergi. setelah wanita itu mengangguk dan memasuki mobil: duduk disebelahku, ia bertanya “kita mau kemana?”. Kupandang ia sebentar lalu kembali memandang kedepan, “tidak kemana-mana” jawabku datar. “loh” pertanyaan yang sudah kutebak: sebuah kebingungan atas sikapku, sebelum wanita disampingku bercerocos tidak karuan kulanjutkan kalimatku “Kita tidak akan kemana-mana sebelum kamu memasang savety-beltmu”--- “oooooh” sebuah ‘oh’ panjang darinya yang disusul dengan adegan: memasang savety-beltnya sendiri.
            Jalanan lengang: sepi. Sama seperti kami yang berdua dan tanpa obrolan. Sesekali kulihat wanita itu sebentar. Ia tampak canggung, aku juga tidak berani mengajaknya bicara: antara belum akrab dan merasa ia bukan lawan bicara yang pantas untukku. (seketika aku menjadi agak tidak wajar dengan kalimat ’belum akrab’ karena kata-kata belum adalah sebuah kemungkinan untuk menjadi ‘telah’ dan adakah alam bawah sadarku menjadi ‘ingin’ akrab dengannya)
DESEMBER
            lelaki itu menjemputku tepat didepan kos yang sepinya naudzubillah ini. Setelah mengunci pintu depan aku masuk kedalam mobil dan bertanya ‘kita mau kemana?’ yang kemudian beliau jawab dengan jawaban “tidak kemana-mana”. I want to die now, God. Aku hampir shock dan berfikir bahwa ia hanya ingin bermain-main lalu langsung pulang begitu sampai didepan kos dan aku telah duduk disampingnya. Namun, detik berikutnya menjadi kehidupan normal ketika ia mengatakan “kita tidak akan kemana-mana sebelum kamu memasang savetybeltmu.
            Jalanan panam menjadi sangat sepi ketika musim libur kuliah seperti ini. Adalah alasan terbesar mahasiswa UIN-UR yang memadati kota pekanbaru. Aku sesekali memandang sisupir disebelahku, hening: tanpa suara. Hanya tangannya terus memegang setir dan sesekali memindahkan gigi. Dibawah sana kaki-kakinya terus menekan gas dan sesekali kopling (ntahlah, aku tidak begitu paham tentang mobil. Hanya menjelaskan sesuai versi ilmuku. Hehe)
APRIL
            Kulupakan tentang “ketidakpantasan” berbicara dengannya. Ada hal yang benar-benar mengganjal fikiranku: tentang kunci rumah
            “itu tadi kos kamu dikunci, emang temen kamu gak ada yang mau masuk ntar?” tanyaku kemudian
            “kos kosong mas, yang lain pada pulkam. Kan musim libur” jawabnya datar
            “itu maksudnya?”
            “maksud apa?” tanyanya kembali
            “maksudnya kamu tinggal sendiri?” tanyaku, mengulang: kupastika ia tidak mengerti dengan pertanyaanku
            “Iya sendiri” jawabnya datar
            Kutarik nafas dalam, setelah melihat dan menganalisa. Aku bisa pastikan bahwa kos yang tadi kutemui adalah kos dengan ukuran bangunan yang lumayan luas
            Lalu perlahan-lahan kami sudah bisa mencairkan suasana, tidak setegang dan sedingin ketika pertama kali bertemu. Ia juga sudah mulai bercerita tentang dirinya, kuliahnya dan kehidupannya sedikit sambil sesekali bertanya tentangku dan kujawab. Ku ajak wanita ini makan ditempat aku biasa makan dengan mama ‘pondok sari laut mas kentung’ jalan nangka, tempatnya selalu ramai dan dipadati pengunjung. Mama suka makan kepiting dan cumi disini. Sedangkan aku, lebih memilih ikan atau ayam bakar saja. Kulihat ia tidak keberatan ketika aku memarkirkan mobil.
DESEMBER
            Beberapa pertanyaannya tentang kosku menjadi awal cairnya suasana didalam mobil ber-AC namun terasa panas tanpa suara diawal perjalanan kami. Entah Ia banyak bertanya atau aku yang terlalu banyak berbicara tentang diriku sendiri, yang jelas ia hanya berbicara sesekali jika aku bertanya. Benar-benar flatman
            Mobilnya memasuki sebuah warung seafood dan ikan bakar, tempatnya sangai ramai dan hanya beberapa kursi yang kosong. Aku diam tanpa komentar, namun bukan berarti aku menyetujui ia membawaku makan disini, satu yang aku fikirkan adalah bahwa tempat ini tentu tempat yang mahal dan bukan termasuk dalam list tempat makan mahasiswa sepertiku. Bagaimana jika ia memintaku untuk membayar sebagai traktiran?
APRIL
            Setelah mendapatkan parkiran, aku turun dari dalam mobil. Tapi wanita itu masih diam seakan tetap ingin tinggal didalam mobil. “Ayo turun” ajakku. Terlihat keraguan dalam dirinya, antara ingin dan tidak. “Tapi, makan disini mahal. Kita cari tempat lain saja ya” ucapnya tak berapa lama kemudian. “Mas tau, kan mas yang bayar bukan kamu” ucapku spontan dilanjutkan dengan pandangannya yang beralih kearahku. Dalam hatiku, menyesal mengatakan hal begitu, antara akan menyinggung perasaannya atau terlihat angkuh dengan uang yang kupunya. Kemudian wanita itu turun dan mengatakan “nanti hitung sebagai hutang esi saja” ucapnya kemudian berjalan mendahuluiku dan memilih salah satu tempat yang kosong dan bersih
            Ada penyesalan luar biasa dalam sebuah perkataan yang terlontar barusan, baru kali ini juga aku bersama wanita yang berfikir untuk makan dan bayar masing-masing. Wanita sebelumnya bahkan booking tempat makan sesuai inginnya dan memintaku membayar ketika bill tagihan dengan jumlah yang tidak sedikit ketika masih di jawa.
DESEMBER
            “Kan mas yang bayar bukan kamu” kalimatnya benar-benar terngiang ditelingaku. Apa yang ia katakan benar, bukan tempatku disini. Namun, bisakah ia tidak mengatakan hal sefrontal itu. Aku benar-benar merasa perbedaan status sosial yang sangat jauh dengannya. Kupandang kemudian pakaian yang aku kenakan dengan pakaian yang ia kenakan. Aku lihat apa yang aku punya dan apa yang ia punya. Tanpa menjawab, aku turun dan menutup pintu mobil lalu berjalan ke arah meja yang sebelumnya telah kupastikan: kosong.

APRIL
            Aku memesan ikan gurame, cumi dan bebek bakar. Es jeruk dan air putih hangat. Wanita sebelahku hanya memesan ayam bakar dan es kosong. Aku tau dia pasti penasaran atau takjub dengan porsi makanku, tapi yang ingin kupesan tadi adalah murni sebagai penebus kesalahanku dan menyuruhnya untuk menghabiskan semua. Dalam hati aku membayangkan ia akan melahap habis semua makanan yang dihidangkan dan memaafkan perkataanku
            “Maaf tadi mas salah bicara” ucapku menyesal
            “Jangan di bahas mas” Jawabnya ogah-ogahan “Makan mas banyak juga ya” tanyanya kemudian
            “Bukan untukku, itu untukmu. Jangan bilang harganya mahal lagi, nanti mas suruh kamu naik ojek pulang kepanam” jawabku lalu tertawa, membayangkan apa yang wanita itu fikirkan jika benar-benar kutinggal dan naik ojek kepanam. Kupandang kearahnya, ia memandangku: takjub pada satu hal.
            “apa?” tanyaku seketika
            “Mas, bisa tertawa juga?” tanyanya datar: tentu serius
            Aku terdiam, kudengar wanita itu tertawa: menertawakanku. Aku tidak bergeming untuk beberapa saat, bukan karna marah ditertawakan olehnya. Tapi karna aku benar-benar menyadari bahwa aku tertawa bersamanya: bersama seseorang yang belum dan tidak kukenal secara akrab dan pribadi.
            Makanan datang dan kami menghabiskan makanan dalam piring kami masing-masing.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 22:16 WIB ketika aku selesai membayar makanan kami. Setelah membayar parkir dan masuk kedalam mobil, kuingat tentang kos nya yang sepi. Sekarang ada rasa khawatir dengan dia yang tinggal sendirian dikos dengan kondisi se-sepi itu.
            “kehotel aja ya” ucapku sambil memutar mobil


CHAPTER III<-- Sebelum------Setelah--> CHAPTER V

Tidak ada komentar: