Chapter VI
APRIL
Aku membeli sebuah kemeja warja
hijau polos: pilihannya. Ini bagus. Ujarnya
hampir berteriak. Ketika beberapa orang beralih pandangan ke arahnya. Ia
menutup mulutnya. Lucu sekali. Kulihat
kemeja yang dipegangnya. Lumayan
“Ini
bagus Mas. Esi suka warna nya. Kalau Mas pake pasti keren. Eh tapi Masbim pake
apa juga bagus sih. Udah ganteng dari lahir mah” cerocosnya kemudian
“Iya, Mas ambil ini” jawabku
kemudian. Aku tidak tahan jika ia harus bercerita panjang lebar lagi tentang
kegantenganku yang hakiki ini. Lalu aku tertawa, ia memandang heran kearahku.
Ku kernyitkan dahiku. Seakan mempertanyakan “ada apa?”dia hanya menjawab
“Nothing” lalu berlari kecil menuju jejeran dasi. Dan berseru “Massss. Iniiii”
sambil menunjuk sesuatu. Aku hampir malu di buatnya. Seperti membawa seorang
gadis desa dengan rambut di kepang dua mengenakan rok selutut dan kemeja polos
dengan kancing lengkap. “Iya” jawabku seraya menghampirinya. Lalu kubisikkan
sesuatu “Kamu jangan teriak-teriak. Disini banyak yang liat. Nanti kamu
disangka anak SMA yang om om culik. Mas malu” jelasku sambil melirik genit
Kulihat ekpresi wajahnya berubah. Ia
lalu diam tanpa kata dan mengangguk. Lalu memandang ke arahku dan memandang ke
arah kaca didepan kami. Entah apa yang ia fikirkan kemudian ia mengajakku
pulang. “Kita pulang aja. Beli sabun nya enggak jadi. Masih banyak kok” ucapnya
sambil tersenyum. Tapi kulihat senyum itu tak setulus biasanya. Getir. Ada
irama kesedihan didalamnya. Tentu ia gelisah dan tengah memikirkan sesuatu.
Adakah ucapanku yang salah?
“Kenapa
pulang?” tanyaku sambil menatap matanya. Aku sudah seperti seorang ayah yang
tengah membujuk anak gadisnya yang sedang merajuk
“Gak
kenapa-kenapa kok” jawabnya masih tersenyum
“Pasti kenapa-kenapa?” tanyaku kemudian
“Kok gitu?”
“Pasti kenapa-kenapa?” tanyaku kemudian
“Kok gitu?”
“Iya,
tadi esi senang nemenin mas pilih baju. Sekarang langsung pengen pulang”
tanyaku. Kuraih tangannya. “Kenapa?”
“Abisnya
kita beda. Tu liat Mas bajunya bagus. Jamnya mahal. Sendalnya ber-merk. Celananya. Kacamatanya juga. Itu
juga” jawabnya sambil menunjuk wajahku.
“Apa?”
tanyaku polos
“Mas wajahnya Ganteng. Ni liat Esi” kuliat bibirnya cemberut seperti anak kecil yang minta dibelikan sesuatu tapi ayahnya nggak mau kasih
“Mas wajahnya Ganteng. Ni liat Esi” kuliat bibirnya cemberut seperti anak kecil yang minta dibelikan sesuatu tapi ayahnya nggak mau kasih
“Ya
iya. Nanti kalau esi Ganteng orang-orang yang nge-liatin Mas enggak suka lagi.
Dikiranya Mas suka sejenis” jelasku sambil tersenyum hampir tertawa
“Eh
bukan gitu” jawabnya gelagapan. “Maksudnya..” belum sempat ia menjelaskan
panjang lebar ku kepit bibirnya dengan jemariku. “Udah, yok temenin Mas bayar
ini”
Selesai
membayar dia memandang ke arahku. Dalam sekali. “Apa?” tanyaku
“Mas gak malu jalan sama Esi?”
“Mas gak malu jalan sama Esi?”
Pertanyaannya
menyadarkanku. Beberapa menit yang lalu kata itu lah yang mengubah ekspresi
cerianya: MALU. Ada kalimatku yang mengandung kata itu sehingga menyinggung
hati-nya. Ada hal-hal sensitif dalam dirinya yang sudah kusentuh. Ada kata yang
mungkin membuatnya bertanya begitu dalam hingga akhirnya dengan getir ia
bertanya “Adakah aku malu jalan dengannya”.
“Enggak,
kenapa harus malu?”
“Iya abisnya Mas...” belum sempat ia cerocos panjang lebar seperti tadi, kalimatnya berhenti dan mengubah topik “Mas mau itu” tunjuknya. Ku ikuti arah telunjuknya. GERAI ES KRIM
“Iya abisnya Mas...” belum sempat ia cerocos panjang lebar seperti tadi, kalimatnya berhenti dan mengubah topik “Mas mau itu” tunjuknya. Ku ikuti arah telunjuknya. GERAI ES KRIM
Persis
seperti membawa anak gadisku ke dalam Mall. Fikirku
kemudian mengangguk meng’iya’kan permintaannya. Ia senang bukan main.
Melupakan setiap kalimat yang kulontarkan dan telah menyakiti hatinya.
“Mas
jugak?” tanyanya padaku
“Enggak. Esi aja” jawabku singkat
“Oke. Mbak dua ya. stoberi sama coklat”
“Kamu aja cik. Mas enggak” bisikku “Mbak satu aja” ralatku pada si penjaga gerai es krim
“Dua” bantahnya
Kupandang ia. Ia balik memandangku. “Esi mau dua” jawabnya kemudian dengan mata berbinar. Lucu sekali
“Iya mbak dua ya” jawabku lagi. Lalu mengeluarkan sejumlah uang.
“Mas, Makasih udah traktir” ucapnya senang. Ia lalu berjalan mendahuluiku. Duduk di kursi-kursi sponsor yang di letakkan ditengah Mall.
“Capek?” tanyaku kemudian
“Lagi makan, ndak boleh jalan-jalan” jawabnya santai. Aku terdiam. Dari awal aku mengenalnya, dalam fikiranku dia adalah wanita tanpa tata krama yang baik. Tapi kali ini, ia mengajarkan hal-hal dasar yang Mama selalu ajarkan. Kalau makan itu duduk.
“Enggak. Esi aja” jawabku singkat
“Oke. Mbak dua ya. stoberi sama coklat”
“Kamu aja cik. Mas enggak” bisikku “Mbak satu aja” ralatku pada si penjaga gerai es krim
“Dua” bantahnya
Kupandang ia. Ia balik memandangku. “Esi mau dua” jawabnya kemudian dengan mata berbinar. Lucu sekali
“Iya mbak dua ya” jawabku lagi. Lalu mengeluarkan sejumlah uang.
“Mas, Makasih udah traktir” ucapnya senang. Ia lalu berjalan mendahuluiku. Duduk di kursi-kursi sponsor yang di letakkan ditengah Mall.
“Capek?” tanyaku kemudian
“Lagi makan, ndak boleh jalan-jalan” jawabnya santai. Aku terdiam. Dari awal aku mengenalnya, dalam fikiranku dia adalah wanita tanpa tata krama yang baik. Tapi kali ini, ia mengajarkan hal-hal dasar yang Mama selalu ajarkan. Kalau makan itu duduk.
“Kenapa?”
tanyaku bodoh
“Nanti Allah marah” jawabnya singkat
“Nanti Allah marah” jawabnya singkat
Aku
mengecek handphoneku yang kuingat
telah ku silent sesaat sebelum masuk
SKA tadi. Mengecek e-mail dan
beberapa group WA. Ada beberapa panggilan tak terjawab. Tentu: MAMA. Ku hubungi
kembali
Ya Ma, kenapa? Tadi Hp mas silent
Kamu lagi dimana?
Di SKA Ma
Ngapain? Tanya mama
Beli kemeja.
Oh. Sendiri? Tanya Mama lagi. Aku terdiam
Sama temen jawabku kemudian setelah beberapa saat
Temen? Tanya mama. Lalu diam beberapa saat Yaudah nanti pulangnya hati-hati
Ya Ma, titip salam sama Mbak
Kamu lagi dimana?
Di SKA Ma
Ngapain? Tanya mama
Beli kemeja.
Oh. Sendiri? Tanya Mama lagi. Aku terdiam
Sama temen jawabku kemudian setelah beberapa saat
Temen? Tanya mama. Lalu diam beberapa saat Yaudah nanti pulangnya hati-hati
Ya Ma, titip salam sama Mbak
HANA
Mama datang mengunjungiku dan
anak-anak rutin hampir sebulan sekali, memang sudah rutinitas Mama begitu sejak
Papa di panggil Allah. Kali ini mama datang sendirian, tidak bersama April
si-bungsu kesayangan Mama
“April gak ikut Ma?” tanyaku begitu Mama masuk kedalam
mobil
“Katanya capek” jawab Mama singkat
“Iya sih, kalau di fikir-fikir April sama kaya Alm. ya Ma” ujarku sambil terus menyetir mobil
“Begitulah”
“Katanya capek” jawab Mama singkat
“Iya sih, kalau di fikir-fikir April sama kaya Alm. ya Ma” ujarku sambil terus menyetir mobil
“Begitulah”
Kulihat Mama mengeluarkan handphone-nya. Tentu menghubungi si
Bungsu April. “Gak diangkat Ma?” tanyaku setelah kulihat beberapa kali Mama
mengotak atik smartphone-nya
“Apa masih tidur ya?”terka Mama
“Kecapean paling Ma”
“Iya Na, adikmu itu sekarang sering begadang”
“Kecapean paling Ma”
“Iya Na, adikmu itu sekarang sering begadang”
“Masa
iya ma?” tanyaku kaget. Karna aku kenal betul siapa April, si over dan si keras
serta gila kerja seperti Alm Papa. Yang benar-benar menanamkan hidup teratur
ajaran Papa. Beda sekali denganku, mendengar April begadang itu adalah hal baru
bagiku. Kulihat Mama hanya mengangguk, pertanda meng-iya-kan pertanyaanku.
Mobil
memasuki kawasan Monas, beberapa orang memegang spanduk pertanda kampanye
sedang berlangsung. Jalan dialikan Seperti
biasanya kepentingan kelompok telah merenggut kepentingan umum. Baru
beberapa meter dari kawasan Monas, Handphone
Mama berbunyi
“April”
ujar Mama lalu menganggkat telfon
Mas, Udah bangun?
Kamu lagi dimana?
Ngapain?
Oh. Sendiri?
Temen?
Yaudah nanti pulangnya hati-hati pesan Mama lalu menutup telfon
Mas, Udah bangun?
Kamu lagi dimana?
Ngapain?
Oh. Sendiri?
Temen?
Yaudah nanti pulangnya hati-hati pesan Mama lalu menutup telfon
“Kenapa Ma?” tanyaku melihat ekspresi Mama yang berubah
“Mas April bilang lagi di SKA sama temen cari kemeja” jawab Mama
“Iya, terus?” tanyaku heran
“Mas April sama temen Na” jawab Mama lagi
“Ya kalau April sama temen kenapa Ma?” tanyaku kembali
“Mas April sejak kapan punya temen. Mas April itu kemana-mana sama Mama, apa-apa sama Mama. Pergi dinas ke luar daerah aja Mama yang nemenin”
“Ya. Mungkin kali ini dia benar-benar punya temen”
“Mas April bilang lagi di SKA sama temen cari kemeja” jawab Mama
“Iya, terus?” tanyaku heran
“Mas April sama temen Na” jawab Mama lagi
“Ya kalau April sama temen kenapa Ma?” tanyaku kembali
“Mas April sejak kapan punya temen. Mas April itu kemana-mana sama Mama, apa-apa sama Mama. Pergi dinas ke luar daerah aja Mama yang nemenin”
“Ya. Mungkin kali ini dia benar-benar punya temen”
Kulirik
Mama, tanpa ekspresi. Sekali lagi aku lupa, April tak sama sepertiku. April
produk berbeda. Ia anak Mama. Bukan anak hutan sepertiku. Sejak dulu April tak
pernah pergi tanpa Mama. Ia malam minggu bersama Mama. Ia menghadiri pesta
dengan Mama. Ia nge-Mall berdua Mama.
Bajunya Mama yang pilih sampai celana dalamnya. Bukan karna Ia terlalu manja
untuk usia 29 tahun. Tapi karna Mama masih belum benar-benar rela melepaskan
April untuk mengurus semuanya sendiri. Mama menjadi lebih over sejak Papa
tiada. April milik Mama
APRIL
Aku tau wanita itu suka coklat. Aku pernah
melihatnya membeli sebuah coklat kecil dengan matanya yang berbinar pertanda
bahwa apa yang tengah Ia nikmati begitu disukainya. Ku ambil keranjang baru
yang tersusun rapi dibarisan pintu masuk Hypermart. Kulirik sebentar wanita
itu, sekilas Ia mengernyitkan dahi tanpa bertanya. Namun, tentu aku tau
maksudnya “untuk apa?”. Kujawab dengan mengangkat kedua bahuku. Ia hanya melengong.
“Cik”
“Ya Mas?”
“Mas kesitu ya. Kamu pilih aja mau beli sabun yang mana”
“Kenapa?”
“Ya nggak kenapa-kenapa”
Kulihat Ia menggeleng, tanda tidak setuju.
“Ya Mas?”
“Mas kesitu ya. Kamu pilih aja mau beli sabun yang mana”
“Kenapa?”
“Ya nggak kenapa-kenapa”
Kulihat Ia menggeleng, tanda tidak setuju.
“Kenapa?”
tanyaku kemudian. Namun, tak ada jawaban “Mas nggak kemana-mana kok” “Nggak
kabur” sambungku tepat di telinganya. Kulihat Ia sedikit tersentak dan menjauh dariku selangkah “Kalau gak percaya nih”
kusodorkan dompet dan kunci mobilku. Kulihat Ia sedikit ragu. Namun, perlahan
ia ambil kunci mobilku dan berlenggang pergi. Wanita itu harus benar-benar
bertanggung jawab atas apa yang Ia lakukan padaku detik Ia meraih kunci
mobilku. Satu hal: aku jatuh cinta.
Terlalu
nyata bahwa tujuannya hanyalah takut kutinggalkan di Hypermart dengan belanjaan
sabun yang belum dibayar. Jika Ia wanita yang gila uang, Ia akan mengambil
dompetku. Karna tidak dipungkiri, jika Ia adalah wanita gila uang tentu Ia tau
bahwa didalam dompetku ada banyak rupiah yang seharusnya bisa Ia gunakan untuk
apa saja. Tidak perlu khawatir ku tinggal atau pusing membayar belanjaan.
Wanita
itu terlalu polos untuk menjadi pendampingku. Namun, terlalu berharga jika
dengan sengaja tidak kuperjuangkan. Dalam gurat wajahnya Ia memperlihatkan
kekuatan dan kesedihan yang Ia tanggung dan ditutupi dengan senyuman serta
canda tawa. Awalnya kukira wanita ini tidak normal, terlalu kekanak-kanakan. Namun,
sifat nyatanya itu yang kini membuatku terpaku diam tak bisa berkata-kata untuk
beberapa saat.
Ia
sudah pergi, menuju barisan Piring dan Cangkir. Aku mengikuti dari belakang. Kulihat
Ia takjub. Menyentuh beberapa alat masak lalu meletakkan kembali. Aku berjalan
disampingnya “Kalau suka ambil aja” ucapku lalu pergi. Ia membalikkan badan dan
berseru “Haaa”. Kulambaikan tangan lalu pergi.
Berjalan
menuju barisan cemilan. Ada banyak coklat terpajang diatas rak-rak. Sekilas terlintas
wajah wanita yang barusan kusapa. Kuambil coklat-coklat di rak-rak tanpa
berfikir. Aku hanya membayangkan mata wanita itu berbinar saat kuberikan
sekantong besar coklat. “Ahhh Ia pasti suka”. Seketika aku ingat Mama. Kuraih handphoneku. Menekan tombol 1 dan
panggil.
Mama tertera
di layar
“Hallo”
“Ma, udah sampai?”
“Pril. Sudah, kamu dimana?”
“Masih di SKA Ma, di Hypermart”
“Ngapain?”
“Lihat-lihat”
“Oh, sudah makan?”
“Iya Ma, nanti balik dari sini”
“Kenapa nunggu balik? Di SKA kan banyak tempat makan”
“Iya Ma. Aidil sama Fuad apa kabar?”
“Baik. Dia rindu sama uncle nya”
“Ya Ma, next weekend kalau nggak ada halangan April ke Jkt”
“Mau ngobrol sama Mbakmu?”
“Boleh Ma”
“Sebentar, Mama panggil”
“Ma, udah sampai?”
“Pril. Sudah, kamu dimana?”
“Masih di SKA Ma, di Hypermart”
“Ngapain?”
“Lihat-lihat”
“Oh, sudah makan?”
“Iya Ma, nanti balik dari sini”
“Kenapa nunggu balik? Di SKA kan banyak tempat makan”
“Iya Ma. Aidil sama Fuad apa kabar?”
“Baik. Dia rindu sama uncle nya”
“Ya Ma, next weekend kalau nggak ada halangan April ke Jkt”
“Mau ngobrol sama Mbakmu?”
“Boleh Ma”
“Sebentar, Mama panggil”
“Mas,
esi udah selesai. Mas udah? Yok balik udah mau maghrib” aku tidak sadar sudah
berapa lama wanita ini berdiri tepat disampingku. Yang jelas aku terkejut lalu
menutup telfon Mama.
“Oh.
Sudah. Ayok” ucapku. Kuperhatikan Ia menggaruk kepalanya yang mungkin tidak
gatal ketika melihat keranjangku penuh dengan coklat. Dijalan mau kekasir ku
kirim pesan singkat ke Mama “Ma, Nanti April telfon. April balik dulu. Hv fun
Ma, love you”
HANA
Kulihat ada yang berbeda dengan
ekspresi Mama sesaat kelika April telfon. Bukan gurat bahagia seperti biasanya
“Ada apa Ma?”
“Mas April”
“Kenapa?” tanyaku
“Mas April sepertinya sedang bersama perempuan”
“Ha? Yang bener Ma?” tanyaku hampir tak percaya
“Iya, waktu Mama bilang mau manggil Mbak Nana karna Mas April mau ngobrol. Ada perempuan yang ngajak pulang. Karna sudah Maghrib”
“Ohh” jawabku. Tak ada yang bisa kuucapkan selain kata itu
“Mas April sama siapa ya?” tanya Mama sambil memandangku. Aku diam
“Mas April”
“Kenapa?” tanyaku
“Mas April sepertinya sedang bersama perempuan”
“Ha? Yang bener Ma?” tanyaku hampir tak percaya
“Iya, waktu Mama bilang mau manggil Mbak Nana karna Mas April mau ngobrol. Ada perempuan yang ngajak pulang. Karna sudah Maghrib”
“Ohh” jawabku. Tak ada yang bisa kuucapkan selain kata itu
“Mas April sama siapa ya?” tanya Mama sambil memandangku. Aku diam
DESEMBER
Aku sudah selesai membeli sabun. Aku ngotot minta balik ke kost karna terlalu lelah. Lelaki itu ngotot mau makan dahulu karna lapar. Aku tidak perduli, punggungku sudah bungkuk, sakit sekali. Pinggangku sakit. Lama-kelamaan Ia menuruti kehendakku. Namun memaksa membeli makanan sebelum pulang, dan aku setuju.
Aku sudah selesai membeli sabun. Aku ngotot minta balik ke kost karna terlalu lelah. Lelaki itu ngotot mau makan dahulu karna lapar. Aku tidak perduli, punggungku sudah bungkuk, sakit sekali. Pinggangku sakit. Lama-kelamaan Ia menuruti kehendakku. Namun memaksa membeli makanan sebelum pulang, dan aku setuju.
Sesampainya
didepan kos, aku turun. Tidak lupa mengucapkan terimakasih sudah membelikan
sabun. Lalu melangkah menuju pintu kos. Membuka kunci lalu Ia memanggilku
“Cik”
panggilnya
“Ya” jawabku ogah-ogahan.
“Nih” ucapnya sambil menyodorkan kantong yang kuyakini berisi coklat yang Ia beli tadi “Untuk kamu”
“Kenapa?” tanyaku bodoh
“Ya karna kamu suka coklat. Udah jangan banyak tanya. Mas balik ya” ucapnya tanpa sempat aku bicara apa-apa lagi
“Walaikumsalam” seru ku
Dia membalikkan badan “Assalamualaikum” ucapnya lalu masuk kemobil. Membunyikan klakson satu kali dan pergi. Aku masuk kedalam kos yang sangat sepi dengan kelelahan yang sangat lalu merebahkan badan dan tidur.
“Ya” jawabku ogah-ogahan.
“Nih” ucapnya sambil menyodorkan kantong yang kuyakini berisi coklat yang Ia beli tadi “Untuk kamu”
“Kenapa?” tanyaku bodoh
“Ya karna kamu suka coklat. Udah jangan banyak tanya. Mas balik ya” ucapnya tanpa sempat aku bicara apa-apa lagi
“Walaikumsalam” seru ku
Dia membalikkan badan “Assalamualaikum” ucapnya lalu masuk kemobil. Membunyikan klakson satu kali dan pergi. Aku masuk kedalam kos yang sangat sepi dengan kelelahan yang sangat lalu merebahkan badan dan tidur.
CHAPTER V <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar