APRIL - DESEMBER (Chapter VIII)


Chapter VIII


DESEMBER
           
            Sudah seminggu Mr. Flat tidak memberiku kabar. Tanpa kontak sama sekali. Namun, aku juga tidak begitu memikirkan kehilangan dia. Entah kenapa. Dia saat ini seperti tidak mempengaruhi apa-apa. “Datang tidak menggenapkan dan pergi tidak mengganjilkan”. Dahulu kala, kalimat itu menjadi kalimat paling kubenci ketika guru Biologiku memberikan julukan demikian. April benar-benar seperti kalimat itu dalam hidupku
            Kegantengannya tidak mengubah apapun. Ternyata aku tidak membutuhkan lelaki berperawakan terlalu ganteng tapi tidak menjadi teman mengobrol yang baik bagiku. Kegantengan April hanya berlalu jika aku berjalan di Mall atau bersama teman-temanku “hanya sekedar memamerkan” bahwa wanita selengek’an sepertiku bisa mendapatkan bibit unggul. Sisanya, apa aku bahagia? BELUM

APRIL

            Mama jatuh sakit dan dirawat. Mba Yanti menghubungi dari telepon Rumah Sakit. Setelah mengurus surat izin dan cuti mendadak 2 (dua) hari aku berangkat menuju RS tempat Mama di rawat. Setelah memarkirkan mobil, aku menaiki lift dan mencari ruang rawat Mama.
            “Ma” sapaku begitu masuk
            “Pril”
            “Ehhh. Mama baring aja. Istirahat” ucapku begitu melihat Mama ingin duduk menyambutku
            “Kerjaan kamu gimana?” tanya Mama
            “Udah, nggak usah di pikirin itu mah, April selesein ntar kalau cutinya udah kelar”
           
“Mama nggak papa, ada Mba Yanti”
            “Udah” ucapku meyakinkan Mama
            Ku rogoh kantong celanaku dan mengambil handphone, mencari kontak Mbak Asih, Mba Nana, dan Mbak Tika untuk memberi kabar bahwa Mama sakit melalui pesan singkat. Sesaat setelah ku masukkan handphone kedalam kantong, handphoneku berbunyi. Telfon masuk dari Mbak Nana
            “Ya Mbak
            “Iya, ini udah di RS
            “Kesini? Nggak usah. Katanya ada fashion week. Rapopo Mbak’e Mama oke kok, kecapean aja. Ada April. Tugas April jaga Mama
            “Yaudah sih kalau Mba sempet sama Mas Andi kesini”
            Aku lalu menutup telfon dan memasukkan kembali kedalam kantong. Tidak beberapa lama perawat masuk dan memberikan Mama obat yang disuntikkan kedalam cairan infus Mama. Kulihat sesaat si perawat sempat melirikku sebelum kemudian meminta tanda tangan pertanda telah diberikannya Mama obat anjuran dokter. Aku tersenyum sebentar kemudian si perawat keluar dari kamar Mama.
            Aku pamit untuk memjemput barang-barang Mama dirumah. Mba Yanti sengaja kutinggal di rumah sakit untuk menjaga Mama. Nanti jika aku sudah kembali, baru lah Mbak Yanti kusuruh pulang.
...
            Dari rumah, aku ingat bahwa saat ini statusku bukan lagi lelaki lajang. Tentu ada wanita diseberang sana yang inginku memberikan kabar (begitu isi artikel remaja yang kubaca di google). Sambil menunggu lampu hijau menyala. Kuraih handphoneku di dashboard dan mencari namanya di daftar kontak. Ketika melihat kali terakhir saling berkirim pesan, itu sudah sembilan hari yang lalu dan wanita itu juga tidak memberikanku kabar atau bertanya kabar
“Hallo Assalamualaikum” ucap wanita di seberang
“Iya. Lagi apa?” tanyaku
“Baru siap Mandi” jawabnya. Kulirik jam tanganku, jam 9 malam
“Kamu baru siap mandi jam segini?” tanyaku kaget. Sungguh gaya hidup tidak sehat
“Iya. Kenapa?” tanyanya
“Bukan apa-apa” jawabku datar “Udah makan?” tanyaku kemudian
“Udah”
“Oh iya, Mama masuk rumah sakit”
“Mama siapa?” tanyanya polos
“Kok Mama siapa?”
“Lah emang Mama siapa? Kok balik nanya?”
“Ya Mama Mas” jawabku hampir emosi
“Oh. Terus?” tanyanya tanpa rasa bersalah
“Besok siang kemungkinan Mba Nana datang dari Jakarta. Kamu Mas jemput jam 2 siang”
“Untuk apa?” tanya nya
“Untuk ketemu dengan Mama dan Mbak Nana”
“Enggak Mau”
“Kenapa?” tanyaku heran
“Ya nggak mau aja”
“Kamu ngga mau jenguk Mama Mas?”
“Ya mau. Tapi belum sekarang”
“Kenapa?”
“Esi belum siap Mas”
“Kenapa belum? Kan tinggal jumpa Mama aja”
“Mas enteng banget ya ngomongnya. Esi belum ada persiapan”
“Emang kamu bakal nyiapin apaan cik?”tanyaku serius
“Ya apa aja. Penampilan, Mental, Spiritual, banyak deh”
“Duh, cewek ribet banget ya. Kamu nggak usah siapin apa-apa. Ngga usah bawa apa-apa. Seperti biasa aja. Mas suka”
“Ya kamu Mas. Mama kamu?”
“Mama Mas baik, kamu nggak perlu takut”
“Kamu nggak ngerti Mas”
“Mas nggak mau tau cik, besok kamu Mas jemput jam 2 di kos. Udah ya, Mas lagi nyetir. Bye”ucapku lalu menutup telfon
DESEMBER
            Sebuah telfon masuk di handphoneku. APRIL
“Hallo Assalamualaikum” ucapku
“Iya. Lagi apa?” tanyanya
“Baru siap Mandi” jawabku
“Kamu baru siap mandi jam segini?” tanyanya sedikit berteriak
“Iya. Kenapa?”
“Bukan apa-apa” jawabnya “Udah makan?” sambungnya lagi
“Udah”
“Oh iya, Mama masuk rumah sakit”
“Mama siapa?” tanyaku bodoh
“Kok Mama siapa?”
“Lah emang Mama siapa? Kok balik nanya?”
“Ya Mama Mas”
“Oh. Terus?” tanyaku
“Besok siang kemungkinan Mba Nana datang dari Jakarta. Kamu Mas jemput jam 2 siang”
“Untuk apa?”
“Untuk ketemu dengan Mama dan Mbak Nana”
“Enggak Mau” bantahku
“Kenapa?”
“Ya nggak mau aja”
“Kamu ngga mau jenguk Mama Mas?”
“Ya mau. Tapi belum sekarang”
“Kenapa?”
“Esi belum siap Mas”
“Kenapa belum? Kan tinggal jumpa Mama aja”
“Mas enteng banget ya ngomongnya. Esi belum ada persiapan”
“Emang kamu bakal nyiapin apaan cik?”
“Ya apa aja. Penampilan, Mental, Spiritual, banyak deh”
“Duh, cewek ribet banget ya. Kamu nggak usah siapin apa-apa. Ngga usah bawa apa-apa. Seperti biasa aja. Mas suka”
“Ya kamu Mas. Mama kamu?”
“Mama Mas baik, kamu nggak perlu takut”
“Kamu nggak ngerti Mas”
“Mas nggak mau tau cik, besok kamu Mas jemput jam 2 di kos. Udah ya, Mas lagi nyetir. Bye”ucapnya lalu menutup telfon
“Walaikumsalam” seruku setelah telfon terputus
Hatiku deg-degan menunggu besok. Aku harus pakai baju apa dan bagaimana ya fikirku. Aku harus bersikap seperti apa nanti. Memang bukan kali yang pertama aku diperkenalkan dengan Ibunya kekasihku namun ini adalah kali pertama bagiku diperkenalkan sebagai kekasih dari seorang lelaki berketurunan ningrat. Bagaimana aku bisa “BIASA AJA” seperti ucap lelaki diseberang telfon sana? Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Walaupun pada malam-malam sebelumnya aku juga tidak bisa tidur. Namun yang kali ini berbeda. Aku tidak tidur sambil memikirkan satu hal. Dan hal tersebut merembes hingga kemana-mana. “Ayolah come on Des. Hanya bertemu dengan ibunya saja”
Semalaman fikiranku bertengkar dengan hatiku, yang satu memikirkan begini yang lainnya memikirkan begitu. Ya seperti itulah~

...

DESEMBER
            “Nanti Mas jemput jam 2” Sebuah pesan singkat darinya benar-benar membuatku kalang kabut. Mondar-mandir dan akhirnya pasrah. Memasrahkan diri untuk apa yang terjadi nanti. Lalu kubalas pesannya “OK”
APRIL
            Dari pagi hari wanita itu kukabari akan kujemput jam 2 siang. Aku juga masih cuti untuk mengurus Mama. Karna Mbakku juga mengabari belum bisa menjenguk Mama karna kesibukan mereka.
            Aku berfikir bagaimana reaksi Mama nanti ketika aku membawa wanitaku untuk menjenguknya. Ini adalah kali pertama untukku melakukannya di usiaku 29 tahun. Ini juga kali pertama menerima wanita lain yang bukan anaknya dan mungkin akan menjadi anaknya.
DESEMBER
            Jam sudah menunjukkan pukul 13:38 dan aku belum beranjak dari kasurku menandakan bahwa aku malas untuk menemui wanita itu (Red: Mama April). Bukan malas lebih tepat adalah tidak siap bertemu dengan Mamanya.
APRIL
            Tepat pukul 13:52 WIB aku sampai didepan kos bertingkat dua berwarna cream. Kos wanita yang tiga bulan lalu masih tak kukenal sama sekali. ku bunyikan klakson dua kali menandakan bahwa aku telah tiba didepan kosnya. Kutunggu beberapa menit kemudian. Wanita itu masih belum muncul. Kuraih handhoneku di dashboard dan mencari kontaknya
            “Mas didepan”
            “Malas berangkat” jawab suara diseberang
            “Ayolah, Mas udah sampe cik”
            “Yaudah tunggu ya. Siap-siap dulu” ujarnya malas
            “Jadi belum siap-siap?”
            “Belum” jawabnya ogah
            “Mandi?” tanyaku
            “Belum” jawabnya santai
            “Astagfirullah cik. Kan mas udah bilang jam 2”
            “Jadi ini mau marah apa mau nunggu?” tanyanya tak berdosa
            “Marah sambil nunggu”
            “Yaudah. Bentar ya”
            Aku tak habis fikir. Wanita itu benar-benar selalu diluar dugaan. Bagiku waktu adalah hal paling berharga dan bukan gayaku menunggu wanita bersiap untuk pergi seperti ini. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menjemput pukul 14:00 WIB dan kurasa itu sudah cukup jelas bahwa dia seharusnya selesai bersiap sebelum itu. Ah sudahlah, mengomelpun tak ada gunanya. Toh, wanita itu juga sudah kupilih untuk ada disisiku hari ini. Dan hari ini juga akan kukenalkan pilihanku pada Mama. Wanita pertama dan utama.

DESEMBER
            Waktu menunjukkan pukul 14:03 WIB ketika handphoneku berdering. Kuraih sambil malas-malasan diatas kasurku yang tidak empuk ini. “April” ujarku
            “Mas didepan” ucapnya begitu kuangkat
            “Malas berangkat” jawabku
            “Ayolah, Mas udah sampe cik”
            “Yaudah tunggu ya. Siap-siap dulu” ujarku malas
            “Jadi belum siap-siap?” tanyanya dengan nada sedikit terkejut
            “Belum” jawabku
            “Mandi?” tanyanya
            “Belum”
            “Astagfirullah cik. Kan mas udah bilang jam 2” ujarnya lagi
            “Jadi ini mau marah apa mau nunggu?” tanyaku
            “Marah sambil nunggu” jawabnya. Kali ini nadanya sedikit bergemuruh
            “Yaudah. Bentar ya”
            Kuraih handukku dan mandi lalu bersiap. Aku bingung mau mengenakan baju apa. Takut jika Mamanya justru tidak suka dengan apa yang kukenakan. Aku juga tidak punya baju bagus untuk kukenakan “Menemui calon mertua” dan dengan segala ketakutan serta kebimbangan itu kuraih baju kemejaku berwarna biru langit dengan stelan rok hitam panjang serta jilbab senada. Kuraih tas selempangku dan memasukkan handphone kedalamnya. Serta beberapa lembar uang 10ribuan. Dan mengunci pintu kamar
            Seperti biasa. Sebuah mobil fortuner putih sudah menunggu mungkin untuk setengah jam lamanya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku yang kemudian tertutupi dengan rasa takut yang semakin besar saat aku mulai mendekati mobil.
            “Maaf lama menunggu” ucapku ketika membuka pintu mobil
            “Sudahlah lupakan” jawabnya kesal
            “Mau memaafkan atau diam-diaman sampe rumah sakit?” tanyaku kesal juga
            “Cik” ucapnya sambil meraih tanganku
            “Eh” ucapku lalu mengibaskan tangannya “Kenapa Mas?” tanyaku kemudian
            “Maaf cik. Mas refleks meraih tanganmu. Maaf juga karna Mas terlalu cepat membawamu menemui Mama. Mas gak ngerti gimana perasaanmu. Mas yang gak bisa memahami bagaimana bagi perempuan pertemuan pertamanya dengan Ibu pacarnya adalah bagian terpenting” kudengar ia menjelaskan panjang lebar
            “Udah ah. Semoga berhasil untukku dan untukmu”
            “Berangkat kita?” tanyanya lagi
            “Ya”
            Sepanjang jalan aku berfikir bagaimana nanti. Apa yang harus kulakukan dan apa yang sepantasnya kuperbuat. Ini memang bukan yang pertama tapi yang kali ini berbeda. Wanita ini bukan dari golongan tak mampu sepertiku. Wanita ini sosialita dan glamour. Hidup dalam kemewahan dan mustahil beliau menerimaku dengan mudah.
            “Cik” panggil April membuyarkan lamunanku
            “Ya Mas” jawabku
            “Masih kepikiran?” tanyanya
            “Enggak kok” jawabku. Tentu saja bohong
            “Hahahahah” lelaki itu tertawa renyah
            “Kenapa mas?” tanyaku heran
            “Udah ya cik. Jangan difikirkan terus” ujarnya “Kami tau gak cik? Mas tadi pas nunggu kamu baca artikel tentang ‘pentingnya pertemuan pertama calon mertua bagi wanita’ makanya Mas tau kalau kamu ragu untuk jumpa Mama. Mama baik kok. Gak Gigit” jelasnya lalu tertawa lagi.
            Lelaki disampingku ini sudah beberapa kali kulihat tertawa. Tapi wajahnya masih saja kaku. Seakan-akan ia tidak pernah tertawa dalam waktu yang lama. Meskipun begitu semua kelakuan dan tingkah kakunya selalu tertutupi dengan ketampanannya yang mecapai 98%. Juga wangi parfume nya yang pasti mahal. Untuk ukuran lelaki dia adalah yang paling ideal untuk jadi suami dan menantu. Dan kenapa dia malah memilihku yang tidak ada apa-apanya untuk jadi pendampingnya? Padahal jika diobral diluaran sana, ada banyak wanita yang akan mengantri untuk menjadi pendamping hidupnya. Lalu padaku apa yang ia jatuh cintai? Itu yang hingga kini tak kutemukan jawabannya



CHAPTER VII <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER IX

Tidak ada komentar: