APRIL - DESEMBER (Chapter IX)

Chapter IX
 
DESEMBER
           
            Mobil April memasuki parkiran Rumah Sakit. Kami menaiki lift hingga lantai 7. Lalu security bertanya dan mempersilahkan masuk. April mengetuk pintu 3 tiga kali lalu menarik gagang pintu. Beberapa orang yang tengah berbicara melirik kearah April. Aku berdiri tepat dibelakangnya sambil menggenggam kemeja April. Kurasakan kakiku tak lagi memijak bumi jika April tidak segera menarik tanganku dan menggenggamnya.
            Didalam ruangan itu ada seorang wanita paruh baya tengah berbaring. Di punggung tangan sebelah kiri terpasang infus. Kulihat kearah wanita itu, meskipun ia tak lagi muda namun garis wajahnya tidak begitu kentara. Kuperkirakan usianya lebih tua dari Bapakku. Namun perawakannya seperti berumur 30an tahun. Wanita ini cantik meskipun sedikit pucat.
            Lalu ada wanita yang kuperkirakan berusia pertengahan 30 tahun. Dengan pakaian syar’i, berwarna peach dan hijab senada. Matanya bulat, hidung nya mancung dan bibirnya mungil. Cantik dan anggun sekali. ‘Pasti wanita ini Mbaknya April’, Kulihat ia juga memandangku penuh tanya. Wanita cantik nan anggun ini yang akhirnya kini kupanggil “Mbak Nana”
            Disebelah wanita itu berdiri pula seorang pria usia awal 40an. Mengenakan kemeja warna Cappucino dengan celana dasar hitam. Meskipun usianya awal 40an, pria ini tampak muda namun sangat berwibawa. Seperti Ahjussi Ahjussi rasa Oppa di drama-drama korea yang sering kutonton. Lelaki ini selanjutnya kupanggil dengan sebutan “Mas” Andi (Suami Mbak Nana)
            April menuntun tanganku hingga berdiri dekat Mamanya yang sedang terbaring. Mbak Nana yang memulai percakapan
“Namanya siapa Neng?”
“Esi Kak”
“Panggil Mbak aja”
“Oh iya. Mbak” Ralatku
“Kapan sampe Mbak? Katanya ada Fashion Week” tanya April pada Mbaknya
“Barusan Pril, gapapa ada anggota kok disana jagain. Mbak text kamu”
“Maaf mbak. April lagi nyetir tadi”
“Kamu siapa?” tanya wanita yang terbaring. “Esi Buk” jawabku sambil mengulurkan tanganku. Beberapa lamanya uluran tanganku tak juga disambutnya. Aku merasa sepertinya wanita ini tidak menyukaiku. Kunilai dari caranya berinteraksi denganku. April meraih tanganku, lalu menatap wanita yang tengah terbaring
“Ma, Ini Esi. Pacar Mas”
Kupandang kembali wajah wanita yang tengah terbaring. Kulihat sekilas matanya memerah. Entah marah, kesal, sedih atau tidak ikhlas. Yang jelas hari itu aku tau bahwa hubunganku ditentang dan bukan awal yang mudah buatku untuk melanjutkan. Ini nyata, dan aku tidak sebodoh itu sampai tidak membaca situasinya.
Kutau bahwa keluarga kelas atas seperti mereka tentu ingin pendamping yang sekelasnya. Lalu aku siapa ingin masuk dan bergabung? Aku siapa ingin dihargai dan dianggap? Aku siapa ingin agar mereka menerimaku?
Namun wanita bernama Hana itu tampaknya menyukaiku. Beberapa kali ia tersenyum dan terlihat bersahabat menerima kehadiranku. Mengajakku berbicara, menanyakan tentang diriku. Ketika duduk bersebelahan dengannya terlihat jelas perbedaan diantara kami. Seperti aku tengah berbicara dengan Mamiku. Mengingat apa yang kukenakan dan apa yang ia kenakan. Lalu apa yang kubawa dan apa yang ia bawa. Pada kesimpulannya adalah: Aku bukan bagian dari mereka.
Ketika aku mulai nyaman berbicara dengan mbak Nana. Wanita yang tengah terbaring itu menyuruh April mengantarkanku pulang. Alasannya sudah sore. Kulirik jam dinding diatas tv. Masih pukul 15.38. ini masih siang fikirku. Lalu April menjawab “Ma, Esi masih mengobrol dengan mbak Nana. Masih belum jam 4 Ma”
Wanita itu mendadak marah dan menjawab “April. Mama bilang antarkan dia pulang. Udah sore. Kamu dulu tidak seperti ini, gak pernah membantah apa yang mama suruh”
“Ma” Ucap April memandang Mamanya
“Sudahlah Pril. Kamu pulang ya Neng. Besok bisa kesini lagi nanti kita ngobrol lagi” ucap Mbak Nana merespon
            Aku paham situasinya. April juga pasti peka. “Besok kamu gak usah kesini. Besok saya sudah pulang kok udah sembuh. Kamu kan kuliah, jadi kamu fokus kuliah aja gak usah liat-liat kesini. Ya”
            “Maa. Dia pacar April Ma”
            “Mama mau istirahat. Kamu pulang ya” ucap wanita itu lalu membalikkan badan memunggungi kami.
Aku diantar pulang

HANA

            Taksi yang kutumpangi baru keluar bandara. Ku ambil Handphone didalam tas jinjingku. Mencari kontak bertuliskan April. Sekali. Dua kali. Panggilanku tidak dijawabnya.
            “Kenapa Mi?” tanya Mas Andi yang duduk didepan sebelah supir
            “April nggak angkat telfon Mas”
            “Mungkin lagi sibuk. Kita langsung aja ke RS”
            “Iya Mas”
            Sebelum memasukkan Handphoneku, ku kirim pesan singkat untuk sibungsu ‘Pril, Mbak udah di Pekanbaru. Ini Otw RS ya’
            Taksi memasuki parkiran rumah sakit. Setelah bertanya kepada petugas keamanan dan menemukan kamar Mama, perlahan ku ketuk pintu kamar Mama. Kulihat Mama terbaring diatas bed pasien.
            “Ma. Assalamualaikum”
            “Nak. Kok kesini?”
            “Loh gak mungkin Nana gak liat Mama, Mama kan lagi sakit”
            “Iya gapapa. Ada April kok”
            “April mana Ma?”
            “Katanya keluar sebentar, mau ketempat temennya gitu”
            “Siapa?”
            “Gak tau. Urusan kerjaan kali”
            “Gimana FW kamu Nak?”
            “Lancar kok Ma, ga usah di fikiran ada anggota yang jaga sementara Nana disini”
            Tidak beberapa lama pintu di ketuk dan kulihat adik bungsuku. Dibelakangnya berdiri seorang gadis mengenakan kemeja biru dan jilbab senada. Penampilannya biasa saja. Gadis ini menggenggam kemeja belakang April. Lucu sekali. Seperti anak kecil yang berada ditengah keramaian dan takut kehilangan Ayahnya. Kupandang April. Pasti gadis ini spesial bagi si bungsu kami karna kenyataan bahwa gadis ini telah berada didalam ruang rawat Mama. Aku tersenyum ‘bungsuku sudah besar sekarang’. Seketika aku tersadar akan Mama, kupandang kearah Mama. Seperti dugaanku. Mama pasti sangat tidak suka dengan pemandangan ini. Mama masih belum mau ada wanita lain selain dirinya yang memiliki April. Egois memang, tapi April adalah harta Mama setelah Papa meninggal.
“Namanya siapa Neng?” tanyaku
“Esi Kak” jawabnya
“Panggil Mbak aja” ujarku lagi
“Oh iya. Mbak” Ralatnya
“Kapan sampe Mbak? Katanya ada Fashion Week” tanya April padaku
“Barusan Pril, gapapa ada anggota kok disana jagain. Mbak text kamu”
“Maaf mbak. April lagi nyetir tadi”
            Lalu si Mr. Perfect kami ini tak biasanya mengabaikan text/call penting (arti penting baginya adalah text/call dari keluarga) tentu karna tengah bersama gadis ini. Ku lirik sebentar, secara penampilan gadis ini tidak punya kelebihan. Bahkan standar menengah cenderung dibawahnya. Meskipun aku tidak begitu memperdulikan status dari segi apapun. Jika dipandang, penampilan gadis ini banting dengan adikku yang super Perfect. Tentu dia punya sesuatu spesial hingga bisa meluluhkan hati adik bungsuku yang sangat susah mendekatkan diri kepada perempuan manapun
            Ketika aku tengah mengobrol dengan Esi, Mama menyuruhnya pulang dan mengatakan bahwa sudah sore. Ku lirik jam dinding sekilas, belum pukul 16.00 WIB. Kenapa Mama menyuruhnya pulang? Kupandang kearah Mama, ada tatapan yang sangat tidak suka disana. Tatapan ‘mengapa kamu masuk kekehidupan anakku'. Hatiku terenyuh, bukan pada sikap Mama yang arogan. Tapi lebih kepada Mama yang bersikeras bernada tinggi pada bungsu kesayangannya. Bisa kupastikan, ini adalah kali pertama Mama memperlakukan April dengan tegas.
            Kulihat adik bungsuku, dia benar-benar dengan kesungguhan meyakinkan Mama bahwa wanita ini spesial dan berharga untuknya, tapi aku tau bagaimana perasaan Mama saat ini. Hingga detik ini, tentu ia belum menerima April dekat dengan perempuan manapun. Akhirnya ku suruh April mengantar Esi pulang, demi bisa memberikan waktu untuk Mama istirahat. Kondisinya sedang tidak baik dan Mama bisa benar-benar marah jika April memaksakan diri. 
APRIL
            Aku mengantarkan Esi pulang setelah sedikit berdebat dengan Mama. Aku tidak mengenali Mama untuk beberapa waktu. Dengan sikap Mama dan dengan apa yang Mama katakan pada gadisku tadi. Tidak seperti biasanya, Mama yang selalu mendukungku, untuk beberapa menit menjadi tidak ku kenali. Ada apa? Apa Mama sesakit itu sampai tidak menerima siapapun menjenguknya?
            Setelah mengantarkan pulang, aku kembali ke rumah sakit. Begitu masuk kekamar Mama, April melihat Mbak Nana hanya berdua dengan Mama.
            “Mas Andi mana Mbak?”
            “Kerumah, anak-anak capek”
            Kupandang kearah Mama yang masih memunggungiku
“Mama kenapa Mba?” tanyaku pada Mbak Nana
Mama membalikkan badan “Jadi perempuan itu yang membuatmu berubah Pril?”
“Berubah apa Ma?” tanyaku heran
“Kamu lebih sering pergi sendiri sekarang. Kamu kurang tidur. Kamu lebih sering tersenyum dan tertawa sekarang. Kamu sering pergi tanpa Mama. Dan kamu gak lagi suka menemani Mama ke Jakarta”
“April gak berubah Ma”
“Mama tau kamu. Mama yang mengandung kamu. Mama yang melahirkan kamu. Mama yang besarin kamu. Perempuan itu anak siapa? Anggota juga? Kawan kantormu? Siapa dia?” tanya Mama
“Bukan Ma, dia mahasiswi. Ayahnya menikah lagi dan ibunya berjualan sayur keliling”
“ASTAGA PRIL, dimana kamu dapat wanita begitu?”
“Dia baik Ma”
“Dia gak akan baik lagi kalau kamu bukan siapa-siapa. Mama lebih baik dari dia. Mama gak suka dia”
“Ma, dia enggak sepicik itu memandang Mas dari apa yang Mas punya. Mama itu Mama nya mas, posisi Mama akan terus jadi yang utama. Mas butuh pendamping juga”
“Kamu 29 tahun sama Mama. Kamu gak butuh siapapun. Mama bisa urus kamu. Mama sanggup”
“Ma” seru mbak Nana “April itu udah 29 tahun. Dia udah besar, izinkan ada wanita lain  untuknya. Nana liat, wanita itu baik dia santun”
“Dia berbeda dengan kita Na”
“Mas Andi juga tak sama seperti kita Ma”
“Sudah lah Na, Mama malas berdebat. Kamu jangan bawa dia lagi kesini ya Pril. Mama ga suka”
“Ma” April memandang Mama nya. Namun wanita itu langsung membalikkan badan dan menarik selimut
            April dan Nana keluar ruangan untuk membiarkan Mama beristirahat.
            “Kamu ga seperti April’nya Mba” tanya Nana sambil tersenyum
            “Kenapa Mba?”
            “Dimana kamu jumpa gadis itu?”
            “Dipustaka Mba, setahun lalu”
            “Jadi, kamu udah jalin hubungan setahun?”
            “Ya belum Mba. Baru jalan 4 bulanan ini”
            “Kenapa suka sama gadis begitu?”
            “Maksud Mbak ‘begitu’?”
            “Dia bukan tipe-mu”
            “Dia baik Mba, polos, jujur. Dan dia suka April bukan karna April kaya”
            “Tau darimana kamu?”
“Nanti, setelah Mba benar-benar mengenalnya. Mbak akan langsung tau kenapa. April ga mau jelaskan banyak. Takutnya terkesan membela-bela dia. Mba akan tau sendiri. Sifatnya mengindahkan fisik dan status sosialnya”
“Tumben”
            “Apanya Mbak?”
            “Tumben bungsu-nya Mbak bisa mendeskripsikan anak gadis orang sampai segitunya”
            April hanya tersenyum lalu berujar “Mbak”
            “Ya”
            “Dia seperti Mbak”
            “Apanya?”
            “Selalu suruh April shalat”
            “Bagus dong. Terus?”
            “Nggak ada terusnya”
            “Kamunya shalat?”
            “Enggak”
            “Yah, sama aja”
           
“Mas”
            “Iya Mbak”
“Kamu udah besar. Kamu yang menentukan hidumu sendiri. Mama hanya pendukung. Tapi walau bagaimanapun Mas harus bisa kasih penjelesan dan pengertian ke Mama. Jangan sampai Mama marah dan kecewa sama kamu. Dekatkan Mama dengan gadis itu. Kelak, jika kalian berjodoh dia akan membantu kita merawat Mama. April jangan gentar tapi jangan keras juga sama Mama. Perlahan-lahan. Dua-duanya perempuan dan spesial untuk Mas. Jadi cara cara paling baik dan lembut untuk mengakrabkan keduanya ya.” jelas Mbak Nana
“Iya Mbak. Makasih ya udah mau dukung April”
            “Iya Mas”



CHAPTER VIII <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER X 

Tidak ada komentar: