APRIL - DESEMBER (Chapter IX)

Chapter IX
 
DESEMBER
           
            Mobil April memasuki parkiran Rumah Sakit. Kami menaiki lift hingga lantai 7. Lalu security bertanya dan mempersilahkan masuk. April mengetuk pintu 3 tiga kali lalu menarik gagang pintu. Beberapa orang yang tengah berbicara melirik kearah April. Aku berdiri tepat dibelakangnya sambil menggenggam kemeja April. Kurasakan kakiku tak lagi memijak bumi jika April tidak segera menarik tanganku dan menggenggamnya.
            Didalam ruangan itu ada seorang wanita paruh baya tengah berbaring. Di punggung tangan sebelah kiri terpasang infus. Kulihat kearah wanita itu, meskipun ia tak lagi muda namun garis wajahnya tidak begitu kentara. Kuperkirakan usianya lebih tua dari Bapakku. Namun perawakannya seperti berumur 30an tahun. Wanita ini cantik meskipun sedikit pucat.
            Lalu ada wanita yang kuperkirakan berusia pertengahan 30 tahun. Dengan pakaian syar’i, berwarna peach dan hijab senada. Matanya bulat, hidung nya mancung dan bibirnya mungil. Cantik dan anggun sekali. ‘Pasti wanita ini Mbaknya April’, Kulihat ia juga memandangku penuh tanya. Wanita cantik nan anggun ini yang akhirnya kini kupanggil “Mbak Nana”
            Disebelah wanita itu berdiri pula seorang pria usia awal 40an. Mengenakan kemeja warna Cappucino dengan celana dasar hitam. Meskipun usianya awal 40an, pria ini tampak muda namun sangat berwibawa. Seperti Ahjussi Ahjussi rasa Oppa di drama-drama korea yang sering kutonton. Lelaki ini selanjutnya kupanggil dengan sebutan “Mas” Andi (Suami Mbak Nana)
            April menuntun tanganku hingga berdiri dekat Mamanya yang sedang terbaring. Mbak Nana yang memulai percakapan
“Namanya siapa Neng?”
“Esi Kak”
“Panggil Mbak aja”
“Oh iya. Mbak” Ralatku
“Kapan sampe Mbak? Katanya ada Fashion Week” tanya April pada Mbaknya
“Barusan Pril, gapapa ada anggota kok disana jagain. Mbak text kamu”
“Maaf mbak. April lagi nyetir tadi”
“Kamu siapa?” tanya wanita yang terbaring. “Esi Buk” jawabku sambil mengulurkan tanganku. Beberapa lamanya uluran tanganku tak juga disambutnya. Aku merasa sepertinya wanita ini tidak menyukaiku. Kunilai dari caranya berinteraksi denganku. April meraih tanganku, lalu menatap wanita yang tengah terbaring
“Ma, Ini Esi. Pacar Mas”
Kupandang kembali wajah wanita yang tengah terbaring. Kulihat sekilas matanya memerah. Entah marah, kesal, sedih atau tidak ikhlas. Yang jelas hari itu aku tau bahwa hubunganku ditentang dan bukan awal yang mudah buatku untuk melanjutkan. Ini nyata, dan aku tidak sebodoh itu sampai tidak membaca situasinya.
Kutau bahwa keluarga kelas atas seperti mereka tentu ingin pendamping yang sekelasnya. Lalu aku siapa ingin masuk dan bergabung? Aku siapa ingin dihargai dan dianggap? Aku siapa ingin agar mereka menerimaku?
Namun wanita bernama Hana itu tampaknya menyukaiku. Beberapa kali ia tersenyum dan terlihat bersahabat menerima kehadiranku. Mengajakku berbicara, menanyakan tentang diriku. Ketika duduk bersebelahan dengannya terlihat jelas perbedaan diantara kami. Seperti aku tengah berbicara dengan Mamiku. Mengingat apa yang kukenakan dan apa yang ia kenakan. Lalu apa yang kubawa dan apa yang ia bawa. Pada kesimpulannya adalah: Aku bukan bagian dari mereka.
Ketika aku mulai nyaman berbicara dengan mbak Nana. Wanita yang tengah terbaring itu menyuruh April mengantarkanku pulang. Alasannya sudah sore. Kulirik jam dinding diatas tv. Masih pukul 15.38. ini masih siang fikirku. Lalu April menjawab “Ma, Esi masih mengobrol dengan mbak Nana. Masih belum jam 4 Ma”
Wanita itu mendadak marah dan menjawab “April. Mama bilang antarkan dia pulang. Udah sore. Kamu dulu tidak seperti ini, gak pernah membantah apa yang mama suruh”
“Ma” Ucap April memandang Mamanya
“Sudahlah Pril. Kamu pulang ya Neng. Besok bisa kesini lagi nanti kita ngobrol lagi” ucap Mbak Nana merespon
            Aku paham situasinya. April juga pasti peka. “Besok kamu gak usah kesini. Besok saya sudah pulang kok udah sembuh. Kamu kan kuliah, jadi kamu fokus kuliah aja gak usah liat-liat kesini. Ya”
            “Maa. Dia pacar April Ma”
            “Mama mau istirahat. Kamu pulang ya” ucap wanita itu lalu membalikkan badan memunggungi kami.
Aku diantar pulang

HANA

            Taksi yang kutumpangi baru keluar bandara. Ku ambil Handphone didalam tas jinjingku. Mencari kontak bertuliskan April. Sekali. Dua kali. Panggilanku tidak dijawabnya.
            “Kenapa Mi?” tanya Mas Andi yang duduk didepan sebelah supir
            “April nggak angkat telfon Mas”
            “Mungkin lagi sibuk. Kita langsung aja ke RS”
            “Iya Mas”
            Sebelum memasukkan Handphoneku, ku kirim pesan singkat untuk sibungsu ‘Pril, Mbak udah di Pekanbaru. Ini Otw RS ya’
            Taksi memasuki parkiran rumah sakit. Setelah bertanya kepada petugas keamanan dan menemukan kamar Mama, perlahan ku ketuk pintu kamar Mama. Kulihat Mama terbaring diatas bed pasien.
            “Ma. Assalamualaikum”
            “Nak. Kok kesini?”
            “Loh gak mungkin Nana gak liat Mama, Mama kan lagi sakit”
            “Iya gapapa. Ada April kok”
            “April mana Ma?”
            “Katanya keluar sebentar, mau ketempat temennya gitu”
            “Siapa?”
            “Gak tau. Urusan kerjaan kali”
            “Gimana FW kamu Nak?”
            “Lancar kok Ma, ga usah di fikiran ada anggota yang jaga sementara Nana disini”
            Tidak beberapa lama pintu di ketuk dan kulihat adik bungsuku. Dibelakangnya berdiri seorang gadis mengenakan kemeja biru dan jilbab senada. Penampilannya biasa saja. Gadis ini menggenggam kemeja belakang April. Lucu sekali. Seperti anak kecil yang berada ditengah keramaian dan takut kehilangan Ayahnya. Kupandang April. Pasti gadis ini spesial bagi si bungsu kami karna kenyataan bahwa gadis ini telah berada didalam ruang rawat Mama. Aku tersenyum ‘bungsuku sudah besar sekarang’. Seketika aku tersadar akan Mama, kupandang kearah Mama. Seperti dugaanku. Mama pasti sangat tidak suka dengan pemandangan ini. Mama masih belum mau ada wanita lain selain dirinya yang memiliki April. Egois memang, tapi April adalah harta Mama setelah Papa meninggal.
“Namanya siapa Neng?” tanyaku
“Esi Kak” jawabnya
“Panggil Mbak aja” ujarku lagi
“Oh iya. Mbak” Ralatnya
“Kapan sampe Mbak? Katanya ada Fashion Week” tanya April padaku
“Barusan Pril, gapapa ada anggota kok disana jagain. Mbak text kamu”
“Maaf mbak. April lagi nyetir tadi”
            Lalu si Mr. Perfect kami ini tak biasanya mengabaikan text/call penting (arti penting baginya adalah text/call dari keluarga) tentu karna tengah bersama gadis ini. Ku lirik sebentar, secara penampilan gadis ini tidak punya kelebihan. Bahkan standar menengah cenderung dibawahnya. Meskipun aku tidak begitu memperdulikan status dari segi apapun. Jika dipandang, penampilan gadis ini banting dengan adikku yang super Perfect. Tentu dia punya sesuatu spesial hingga bisa meluluhkan hati adik bungsuku yang sangat susah mendekatkan diri kepada perempuan manapun
            Ketika aku tengah mengobrol dengan Esi, Mama menyuruhnya pulang dan mengatakan bahwa sudah sore. Ku lirik jam dinding sekilas, belum pukul 16.00 WIB. Kenapa Mama menyuruhnya pulang? Kupandang kearah Mama, ada tatapan yang sangat tidak suka disana. Tatapan ‘mengapa kamu masuk kekehidupan anakku'. Hatiku terenyuh, bukan pada sikap Mama yang arogan. Tapi lebih kepada Mama yang bersikeras bernada tinggi pada bungsu kesayangannya. Bisa kupastikan, ini adalah kali pertama Mama memperlakukan April dengan tegas.
            Kulihat adik bungsuku, dia benar-benar dengan kesungguhan meyakinkan Mama bahwa wanita ini spesial dan berharga untuknya, tapi aku tau bagaimana perasaan Mama saat ini. Hingga detik ini, tentu ia belum menerima April dekat dengan perempuan manapun. Akhirnya ku suruh April mengantar Esi pulang, demi bisa memberikan waktu untuk Mama istirahat. Kondisinya sedang tidak baik dan Mama bisa benar-benar marah jika April memaksakan diri. 
APRIL
            Aku mengantarkan Esi pulang setelah sedikit berdebat dengan Mama. Aku tidak mengenali Mama untuk beberapa waktu. Dengan sikap Mama dan dengan apa yang Mama katakan pada gadisku tadi. Tidak seperti biasanya, Mama yang selalu mendukungku, untuk beberapa menit menjadi tidak ku kenali. Ada apa? Apa Mama sesakit itu sampai tidak menerima siapapun menjenguknya?
            Setelah mengantarkan pulang, aku kembali ke rumah sakit. Begitu masuk kekamar Mama, April melihat Mbak Nana hanya berdua dengan Mama.
            “Mas Andi mana Mbak?”
            “Kerumah, anak-anak capek”
            Kupandang kearah Mama yang masih memunggungiku
“Mama kenapa Mba?” tanyaku pada Mbak Nana
Mama membalikkan badan “Jadi perempuan itu yang membuatmu berubah Pril?”
“Berubah apa Ma?” tanyaku heran
“Kamu lebih sering pergi sendiri sekarang. Kamu kurang tidur. Kamu lebih sering tersenyum dan tertawa sekarang. Kamu sering pergi tanpa Mama. Dan kamu gak lagi suka menemani Mama ke Jakarta”
“April gak berubah Ma”
“Mama tau kamu. Mama yang mengandung kamu. Mama yang melahirkan kamu. Mama yang besarin kamu. Perempuan itu anak siapa? Anggota juga? Kawan kantormu? Siapa dia?” tanya Mama
“Bukan Ma, dia mahasiswi. Ayahnya menikah lagi dan ibunya berjualan sayur keliling”
“ASTAGA PRIL, dimana kamu dapat wanita begitu?”
“Dia baik Ma”
“Dia gak akan baik lagi kalau kamu bukan siapa-siapa. Mama lebih baik dari dia. Mama gak suka dia”
“Ma, dia enggak sepicik itu memandang Mas dari apa yang Mas punya. Mama itu Mama nya mas, posisi Mama akan terus jadi yang utama. Mas butuh pendamping juga”
“Kamu 29 tahun sama Mama. Kamu gak butuh siapapun. Mama bisa urus kamu. Mama sanggup”
“Ma” seru mbak Nana “April itu udah 29 tahun. Dia udah besar, izinkan ada wanita lain  untuknya. Nana liat, wanita itu baik dia santun”
“Dia berbeda dengan kita Na”
“Mas Andi juga tak sama seperti kita Ma”
“Sudah lah Na, Mama malas berdebat. Kamu jangan bawa dia lagi kesini ya Pril. Mama ga suka”
“Ma” April memandang Mama nya. Namun wanita itu langsung membalikkan badan dan menarik selimut
            April dan Nana keluar ruangan untuk membiarkan Mama beristirahat.
            “Kamu ga seperti April’nya Mba” tanya Nana sambil tersenyum
            “Kenapa Mba?”
            “Dimana kamu jumpa gadis itu?”
            “Dipustaka Mba, setahun lalu”
            “Jadi, kamu udah jalin hubungan setahun?”
            “Ya belum Mba. Baru jalan 4 bulanan ini”
            “Kenapa suka sama gadis begitu?”
            “Maksud Mbak ‘begitu’?”
            “Dia bukan tipe-mu”
            “Dia baik Mba, polos, jujur. Dan dia suka April bukan karna April kaya”
            “Tau darimana kamu?”
“Nanti, setelah Mba benar-benar mengenalnya. Mbak akan langsung tau kenapa. April ga mau jelaskan banyak. Takutnya terkesan membela-bela dia. Mba akan tau sendiri. Sifatnya mengindahkan fisik dan status sosialnya”
“Tumben”
            “Apanya Mbak?”
            “Tumben bungsu-nya Mbak bisa mendeskripsikan anak gadis orang sampai segitunya”
            April hanya tersenyum lalu berujar “Mbak”
            “Ya”
            “Dia seperti Mbak”
            “Apanya?”
            “Selalu suruh April shalat”
            “Bagus dong. Terus?”
            “Nggak ada terusnya”
            “Kamunya shalat?”
            “Enggak”
            “Yah, sama aja”
           
“Mas”
            “Iya Mbak”
“Kamu udah besar. Kamu yang menentukan hidumu sendiri. Mama hanya pendukung. Tapi walau bagaimanapun Mas harus bisa kasih penjelesan dan pengertian ke Mama. Jangan sampai Mama marah dan kecewa sama kamu. Dekatkan Mama dengan gadis itu. Kelak, jika kalian berjodoh dia akan membantu kita merawat Mama. April jangan gentar tapi jangan keras juga sama Mama. Perlahan-lahan. Dua-duanya perempuan dan spesial untuk Mas. Jadi cara cara paling baik dan lembut untuk mengakrabkan keduanya ya.” jelas Mbak Nana
“Iya Mbak. Makasih ya udah mau dukung April”
            “Iya Mas”



CHAPTER VIII <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER X 

APRIL - DESEMBER (Chapter VIII)


Chapter VIII


DESEMBER
           
            Sudah seminggu Mr. Flat tidak memberiku kabar. Tanpa kontak sama sekali. Namun, aku juga tidak begitu memikirkan kehilangan dia. Entah kenapa. Dia saat ini seperti tidak mempengaruhi apa-apa. “Datang tidak menggenapkan dan pergi tidak mengganjilkan”. Dahulu kala, kalimat itu menjadi kalimat paling kubenci ketika guru Biologiku memberikan julukan demikian. April benar-benar seperti kalimat itu dalam hidupku
            Kegantengannya tidak mengubah apapun. Ternyata aku tidak membutuhkan lelaki berperawakan terlalu ganteng tapi tidak menjadi teman mengobrol yang baik bagiku. Kegantengan April hanya berlalu jika aku berjalan di Mall atau bersama teman-temanku “hanya sekedar memamerkan” bahwa wanita selengek’an sepertiku bisa mendapatkan bibit unggul. Sisanya, apa aku bahagia? BELUM

APRIL

            Mama jatuh sakit dan dirawat. Mba Yanti menghubungi dari telepon Rumah Sakit. Setelah mengurus surat izin dan cuti mendadak 2 (dua) hari aku berangkat menuju RS tempat Mama di rawat. Setelah memarkirkan mobil, aku menaiki lift dan mencari ruang rawat Mama.
            “Ma” sapaku begitu masuk
            “Pril”
            “Ehhh. Mama baring aja. Istirahat” ucapku begitu melihat Mama ingin duduk menyambutku
            “Kerjaan kamu gimana?” tanya Mama
            “Udah, nggak usah di pikirin itu mah, April selesein ntar kalau cutinya udah kelar”
           
“Mama nggak papa, ada Mba Yanti”
            “Udah” ucapku meyakinkan Mama
            Ku rogoh kantong celanaku dan mengambil handphone, mencari kontak Mbak Asih, Mba Nana, dan Mbak Tika untuk memberi kabar bahwa Mama sakit melalui pesan singkat. Sesaat setelah ku masukkan handphone kedalam kantong, handphoneku berbunyi. Telfon masuk dari Mbak Nana
            “Ya Mbak
            “Iya, ini udah di RS
            “Kesini? Nggak usah. Katanya ada fashion week. Rapopo Mbak’e Mama oke kok, kecapean aja. Ada April. Tugas April jaga Mama
            “Yaudah sih kalau Mba sempet sama Mas Andi kesini”
            Aku lalu menutup telfon dan memasukkan kembali kedalam kantong. Tidak beberapa lama perawat masuk dan memberikan Mama obat yang disuntikkan kedalam cairan infus Mama. Kulihat sesaat si perawat sempat melirikku sebelum kemudian meminta tanda tangan pertanda telah diberikannya Mama obat anjuran dokter. Aku tersenyum sebentar kemudian si perawat keluar dari kamar Mama.
            Aku pamit untuk memjemput barang-barang Mama dirumah. Mba Yanti sengaja kutinggal di rumah sakit untuk menjaga Mama. Nanti jika aku sudah kembali, baru lah Mbak Yanti kusuruh pulang.
...
            Dari rumah, aku ingat bahwa saat ini statusku bukan lagi lelaki lajang. Tentu ada wanita diseberang sana yang inginku memberikan kabar (begitu isi artikel remaja yang kubaca di google). Sambil menunggu lampu hijau menyala. Kuraih handphoneku di dashboard dan mencari namanya di daftar kontak. Ketika melihat kali terakhir saling berkirim pesan, itu sudah sembilan hari yang lalu dan wanita itu juga tidak memberikanku kabar atau bertanya kabar
“Hallo Assalamualaikum” ucap wanita di seberang
“Iya. Lagi apa?” tanyaku
“Baru siap Mandi” jawabnya. Kulirik jam tanganku, jam 9 malam
“Kamu baru siap mandi jam segini?” tanyaku kaget. Sungguh gaya hidup tidak sehat
“Iya. Kenapa?” tanyanya
“Bukan apa-apa” jawabku datar “Udah makan?” tanyaku kemudian
“Udah”
“Oh iya, Mama masuk rumah sakit”
“Mama siapa?” tanyanya polos
“Kok Mama siapa?”
“Lah emang Mama siapa? Kok balik nanya?”
“Ya Mama Mas” jawabku hampir emosi
“Oh. Terus?” tanyanya tanpa rasa bersalah
“Besok siang kemungkinan Mba Nana datang dari Jakarta. Kamu Mas jemput jam 2 siang”
“Untuk apa?” tanya nya
“Untuk ketemu dengan Mama dan Mbak Nana”
“Enggak Mau”
“Kenapa?” tanyaku heran
“Ya nggak mau aja”
“Kamu ngga mau jenguk Mama Mas?”
“Ya mau. Tapi belum sekarang”
“Kenapa?”
“Esi belum siap Mas”
“Kenapa belum? Kan tinggal jumpa Mama aja”
“Mas enteng banget ya ngomongnya. Esi belum ada persiapan”
“Emang kamu bakal nyiapin apaan cik?”tanyaku serius
“Ya apa aja. Penampilan, Mental, Spiritual, banyak deh”
“Duh, cewek ribet banget ya. Kamu nggak usah siapin apa-apa. Ngga usah bawa apa-apa. Seperti biasa aja. Mas suka”
“Ya kamu Mas. Mama kamu?”
“Mama Mas baik, kamu nggak perlu takut”
“Kamu nggak ngerti Mas”
“Mas nggak mau tau cik, besok kamu Mas jemput jam 2 di kos. Udah ya, Mas lagi nyetir. Bye”ucapku lalu menutup telfon
DESEMBER
            Sebuah telfon masuk di handphoneku. APRIL
“Hallo Assalamualaikum” ucapku
“Iya. Lagi apa?” tanyanya
“Baru siap Mandi” jawabku
“Kamu baru siap mandi jam segini?” tanyanya sedikit berteriak
“Iya. Kenapa?”
“Bukan apa-apa” jawabnya “Udah makan?” sambungnya lagi
“Udah”
“Oh iya, Mama masuk rumah sakit”
“Mama siapa?” tanyaku bodoh
“Kok Mama siapa?”
“Lah emang Mama siapa? Kok balik nanya?”
“Ya Mama Mas”
“Oh. Terus?” tanyaku
“Besok siang kemungkinan Mba Nana datang dari Jakarta. Kamu Mas jemput jam 2 siang”
“Untuk apa?”
“Untuk ketemu dengan Mama dan Mbak Nana”
“Enggak Mau” bantahku
“Kenapa?”
“Ya nggak mau aja”
“Kamu ngga mau jenguk Mama Mas?”
“Ya mau. Tapi belum sekarang”
“Kenapa?”
“Esi belum siap Mas”
“Kenapa belum? Kan tinggal jumpa Mama aja”
“Mas enteng banget ya ngomongnya. Esi belum ada persiapan”
“Emang kamu bakal nyiapin apaan cik?”
“Ya apa aja. Penampilan, Mental, Spiritual, banyak deh”
“Duh, cewek ribet banget ya. Kamu nggak usah siapin apa-apa. Ngga usah bawa apa-apa. Seperti biasa aja. Mas suka”
“Ya kamu Mas. Mama kamu?”
“Mama Mas baik, kamu nggak perlu takut”
“Kamu nggak ngerti Mas”
“Mas nggak mau tau cik, besok kamu Mas jemput jam 2 di kos. Udah ya, Mas lagi nyetir. Bye”ucapnya lalu menutup telfon
“Walaikumsalam” seruku setelah telfon terputus
Hatiku deg-degan menunggu besok. Aku harus pakai baju apa dan bagaimana ya fikirku. Aku harus bersikap seperti apa nanti. Memang bukan kali yang pertama aku diperkenalkan dengan Ibunya kekasihku namun ini adalah kali pertama bagiku diperkenalkan sebagai kekasih dari seorang lelaki berketurunan ningrat. Bagaimana aku bisa “BIASA AJA” seperti ucap lelaki diseberang telfon sana? Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Walaupun pada malam-malam sebelumnya aku juga tidak bisa tidur. Namun yang kali ini berbeda. Aku tidak tidur sambil memikirkan satu hal. Dan hal tersebut merembes hingga kemana-mana. “Ayolah come on Des. Hanya bertemu dengan ibunya saja”
Semalaman fikiranku bertengkar dengan hatiku, yang satu memikirkan begini yang lainnya memikirkan begitu. Ya seperti itulah~

...

DESEMBER
            “Nanti Mas jemput jam 2” Sebuah pesan singkat darinya benar-benar membuatku kalang kabut. Mondar-mandir dan akhirnya pasrah. Memasrahkan diri untuk apa yang terjadi nanti. Lalu kubalas pesannya “OK”
APRIL
            Dari pagi hari wanita itu kukabari akan kujemput jam 2 siang. Aku juga masih cuti untuk mengurus Mama. Karna Mbakku juga mengabari belum bisa menjenguk Mama karna kesibukan mereka.
            Aku berfikir bagaimana reaksi Mama nanti ketika aku membawa wanitaku untuk menjenguknya. Ini adalah kali pertama untukku melakukannya di usiaku 29 tahun. Ini juga kali pertama menerima wanita lain yang bukan anaknya dan mungkin akan menjadi anaknya.
DESEMBER
            Jam sudah menunjukkan pukul 13:38 dan aku belum beranjak dari kasurku menandakan bahwa aku malas untuk menemui wanita itu (Red: Mama April). Bukan malas lebih tepat adalah tidak siap bertemu dengan Mamanya.
APRIL
            Tepat pukul 13:52 WIB aku sampai didepan kos bertingkat dua berwarna cream. Kos wanita yang tiga bulan lalu masih tak kukenal sama sekali. ku bunyikan klakson dua kali menandakan bahwa aku telah tiba didepan kosnya. Kutunggu beberapa menit kemudian. Wanita itu masih belum muncul. Kuraih handhoneku di dashboard dan mencari kontaknya
            “Mas didepan”
            “Malas berangkat” jawab suara diseberang
            “Ayolah, Mas udah sampe cik”
            “Yaudah tunggu ya. Siap-siap dulu” ujarnya malas
            “Jadi belum siap-siap?”
            “Belum” jawabnya ogah
            “Mandi?” tanyaku
            “Belum” jawabnya santai
            “Astagfirullah cik. Kan mas udah bilang jam 2”
            “Jadi ini mau marah apa mau nunggu?” tanyanya tak berdosa
            “Marah sambil nunggu”
            “Yaudah. Bentar ya”
            Aku tak habis fikir. Wanita itu benar-benar selalu diluar dugaan. Bagiku waktu adalah hal paling berharga dan bukan gayaku menunggu wanita bersiap untuk pergi seperti ini. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menjemput pukul 14:00 WIB dan kurasa itu sudah cukup jelas bahwa dia seharusnya selesai bersiap sebelum itu. Ah sudahlah, mengomelpun tak ada gunanya. Toh, wanita itu juga sudah kupilih untuk ada disisiku hari ini. Dan hari ini juga akan kukenalkan pilihanku pada Mama. Wanita pertama dan utama.

DESEMBER
            Waktu menunjukkan pukul 14:03 WIB ketika handphoneku berdering. Kuraih sambil malas-malasan diatas kasurku yang tidak empuk ini. “April” ujarku
            “Mas didepan” ucapnya begitu kuangkat
            “Malas berangkat” jawabku
            “Ayolah, Mas udah sampe cik”
            “Yaudah tunggu ya. Siap-siap dulu” ujarku malas
            “Jadi belum siap-siap?” tanyanya dengan nada sedikit terkejut
            “Belum” jawabku
            “Mandi?” tanyanya
            “Belum”
            “Astagfirullah cik. Kan mas udah bilang jam 2” ujarnya lagi
            “Jadi ini mau marah apa mau nunggu?” tanyaku
            “Marah sambil nunggu” jawabnya. Kali ini nadanya sedikit bergemuruh
            “Yaudah. Bentar ya”
            Kuraih handukku dan mandi lalu bersiap. Aku bingung mau mengenakan baju apa. Takut jika Mamanya justru tidak suka dengan apa yang kukenakan. Aku juga tidak punya baju bagus untuk kukenakan “Menemui calon mertua” dan dengan segala ketakutan serta kebimbangan itu kuraih baju kemejaku berwarna biru langit dengan stelan rok hitam panjang serta jilbab senada. Kuraih tas selempangku dan memasukkan handphone kedalamnya. Serta beberapa lembar uang 10ribuan. Dan mengunci pintu kamar
            Seperti biasa. Sebuah mobil fortuner putih sudah menunggu mungkin untuk setengah jam lamanya. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku yang kemudian tertutupi dengan rasa takut yang semakin besar saat aku mulai mendekati mobil.
            “Maaf lama menunggu” ucapku ketika membuka pintu mobil
            “Sudahlah lupakan” jawabnya kesal
            “Mau memaafkan atau diam-diaman sampe rumah sakit?” tanyaku kesal juga
            “Cik” ucapnya sambil meraih tanganku
            “Eh” ucapku lalu mengibaskan tangannya “Kenapa Mas?” tanyaku kemudian
            “Maaf cik. Mas refleks meraih tanganmu. Maaf juga karna Mas terlalu cepat membawamu menemui Mama. Mas gak ngerti gimana perasaanmu. Mas yang gak bisa memahami bagaimana bagi perempuan pertemuan pertamanya dengan Ibu pacarnya adalah bagian terpenting” kudengar ia menjelaskan panjang lebar
            “Udah ah. Semoga berhasil untukku dan untukmu”
            “Berangkat kita?” tanyanya lagi
            “Ya”
            Sepanjang jalan aku berfikir bagaimana nanti. Apa yang harus kulakukan dan apa yang sepantasnya kuperbuat. Ini memang bukan yang pertama tapi yang kali ini berbeda. Wanita ini bukan dari golongan tak mampu sepertiku. Wanita ini sosialita dan glamour. Hidup dalam kemewahan dan mustahil beliau menerimaku dengan mudah.
            “Cik” panggil April membuyarkan lamunanku
            “Ya Mas” jawabku
            “Masih kepikiran?” tanyanya
            “Enggak kok” jawabku. Tentu saja bohong
            “Hahahahah” lelaki itu tertawa renyah
            “Kenapa mas?” tanyaku heran
            “Udah ya cik. Jangan difikirkan terus” ujarnya “Kami tau gak cik? Mas tadi pas nunggu kamu baca artikel tentang ‘pentingnya pertemuan pertama calon mertua bagi wanita’ makanya Mas tau kalau kamu ragu untuk jumpa Mama. Mama baik kok. Gak Gigit” jelasnya lalu tertawa lagi.
            Lelaki disampingku ini sudah beberapa kali kulihat tertawa. Tapi wajahnya masih saja kaku. Seakan-akan ia tidak pernah tertawa dalam waktu yang lama. Meskipun begitu semua kelakuan dan tingkah kakunya selalu tertutupi dengan ketampanannya yang mecapai 98%. Juga wangi parfume nya yang pasti mahal. Untuk ukuran lelaki dia adalah yang paling ideal untuk jadi suami dan menantu. Dan kenapa dia malah memilihku yang tidak ada apa-apanya untuk jadi pendampingnya? Padahal jika diobral diluaran sana, ada banyak wanita yang akan mengantri untuk menjadi pendamping hidupnya. Lalu padaku apa yang ia jatuh cintai? Itu yang hingga kini tak kutemukan jawabannya



CHAPTER VII <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER IX