Liontin Kupu-Kupu


Ini BAGIAN IV (Terakhir), sebelum lanjut. Yuk, ke BAGIAN III dulu
Bagian IV


Liontin Kupu-Kupu (Sumber: Google)


Kunaikkan pandanganku kearah pak Tama. Ia mengulurkan tangannya dan langsung ku raih
“Terimakasih pak” ucapku
            “Yok yun”
            “Iya pak” jawabku. Ku sadari satu hal, tanganku masih digenggamannya dan ada rasa enggan dalam hatiku melepaskannya ‘ah biarlah beliau yang melepaskan jika tersadar’ fikirku tersenyum. Senyumanku menimbulkan bunyi yang kemudian disadari oleh Pak Tama
            “Duh, maafkan saya Yuni. Saya tidak bermaksud lancang terhadapku” ucapnya tersentak lalu melepaskan tangannya
            “Maafkan saya pak, saya juga tidak sadar” ucapku yang tentu saja berbohong
Pak Tama mempersilahkan aku jalan duluan. Kami mengisi kursi kosong diantara pembeli lainnya. Tidak lama kemudian mas pelayannya datang untuk menanyakan pesanan kami. Aku memesan sate kambing dan pak Tama memesan sate ayam. Dengan dua gelas teh es.

Sate Madura (Sumber: Google Image)

     
 “Kamu suka kambing Yun?” tanya Pak Tama kemudian
            “Iya pak. Udah lama saya tidak beli sate kambing”
            “Bukannya kamu sering lewat sini? Kenapa tidak mampir?”
            “Kalau saya makan sate kambing sendirian, saya jadi sedih karna ini kesukaan Ibu saya Pak. Alasan lain, karna sate kambing bagi saya sedikit mahal” jawabku sembali tersenyum
            “Loh, sekarang sate nya jadi murah karna saya?” tanya Pak Tama
            “Bukan Pak. Tepatnya jadi Gratis” jawabku tertawa
            “Loh saya  berharapnya kamu yang traktir”
            “Saya pak?” tanyaku kemudian
            “Iya. Kan kamu yang gajian”
            “Yaudah deh pak” ucapku kemudian disambut tawa Pak Tama. Beberapa pelanggan melihat sebentar ke arah kami
            “Kenapa Pak?” tanyaku heran
            “Ekspresi mu itu loh Yun. Lucu banget” jawabnya masih tertawa membuatku malu. Kemudian ku raih tangannya untuk menenangkan agar tidak menyita perhatian orang-orang disekitar kami
            “Pak, udah ah. Saya malu diliatin orang” ucapku
Tawanya berhenti. Matanya bergantian melihat kearah tanganku yang memegang tangannya, lalu memandang kearahku. Aku menarik tanganku kemudian. merasa begitu lancang pada ‘wali muridku’. Begitu ku tarik tanganku, Pak Tama meraih kembali tanganku.
“Biarkan sebentar saja. Saya merasa nyaman” ucapnya. Membuat jantungku serasa ingin berhenti berdetak. Aku ingin teriak. Dadaku sesak. Atas apa yang tengah kuhadapi. Hubungan macam apa yang kemudian akan kubangun bersama lelaki di hadapanku. Bahasa tubuhnya jelas tidak lagi menganggapku ‘guru’ dari anaknya.
Aku terdiam. Membiarkan ia menggenggam tanganku. Aku tidak berani menatap wajahnya. Wajahku terasa panas dan aneh.  Beliau adalah lelaki pertama yang memperlakukanku seperti wanita.
“Yun” panggilnya setelah beberapa menit kami saling diam
            “Ya Pak” jawabku mengangkat kepala memberanikan diri menatap wajahnya
Pak Tama ingin bicara yang kemudian batal karna pelayan datang membawa pesanan kami.
            “Makan dulu Yun”
            “Iya Pak”
Akupun melahap makananku segera. Ingin suasana aneh ini segera berakhir. Aku ingin pulang. Ingin tidur dikasurku dan melanjutkan ini didalam mimpi. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan setelah ini. Entahlah, antara takut dan belum siap.
Kami selesai makan tanpa bicara sepatah katapun. Setelah membayar dan masuk ke dalam mobil Pak Tama
            “Maaf yun”ucap pak Tama lalu memasang savety belt ku
            “Eh gapapa Pak. Saya bisa sendiri” jawabku kemudian membuat Pak Tama salah tingkah, akupun sama
Kami menikmati perjalanan pulang tanpa kata. Diam seribu bahasa. Pak Tama pun begitu. Ia tak mengajakku bicara. Setelah sampai didepan rumah, kami tidak langsung turun. Ada yang menghambatku untuk turun. Pak Tama pun begitu
“Yun” ucapnya setelah beberapa waktu
            “Ya”
            “Kamu tinggal sendirian?”
            “Iya Pak. Ngekos”
            “Orangtua kamu?”
            “Udah meninggal keduanya Pak” jawabku lirih. Terlintas dibenakku wajah Ibu dan Ayah untuk beberapa saat.
            “Maafin saya, tidak bermaksud membuatmu sedih” ucapnya lalu meraih tanganku (lagi) untuk kesekian kalinya. Dan (aku?) hanya menerima perlakuan beliau dengan lapang dada. Lapang dada? Kamu menyukainya yun... “kamu punya saudara Yun?”
            “Saya anak tunggal Pak. Ayah Ibu juga anak tunggal. Tapi saudara jauh ada”
            “Saya termasuk dalam saudara  jauh mu juga Yun?” tanyanya
            “Ha?” ujarku heran
            “Hahaha saya bercanda” ucapnya tertawa
            “Yun”
            “Iya Pak”
            Aku memandang pak Tama beliau juga. jarak aku dengan nya hanya beberapa centi. Detik kemudian aku merasakan hangat dibibirku. Kurasakan nafas beliau. Aku tidak bergeming hampir semenit. Beliau mengecup bibirku. Ada aroma kacang dari sate yang kami makan tadi. Ia memegang kepala belakangku. Beberapa detik kemudian, kecupan itu berhenti. Aku terdiam, lebih tepatnya tersentak. (kenapa?). ia memandang kearahku, dalam sekali.
Ia mengelus pipiku. Menyematkan rambutku ke belakang telinga lalu meletakkan telapak tangannya di tengkuk belakangku. Aku merasa adegan ciuman ini belum berakhir. Aku memejamkan mataku kemudian dengan spontan. Untuk beberapa lamanya aku tidak merasa bibirku dikecup. Kubuka perlahan mataku. Pak Tama tepat di depan wajahku sambil tersenyum, tertawa lebih tepatnya. Aku malu, malu sekali. apasih yang aku fikirkan?
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Wajahku panas sangking malunya. Pak Tama membuka perlahan jemariku yang menutupi wajahku. Lalu menggenggam tanganku dan mengecup bibirku lagi. Aku terkejut. Mataku masih terbuka. Dan kulihat jelas pori pori wajahnya. Pak Tama berhenti sebentar dan memandangku. Ia mengecup keningku lembut sekali.
Aku tersenyum lagi. Kulihat ia meminta izinku. Izin ingin mengecupku kembali. Ku tutup bibirku dengan telapak tangan.
“Udah” jawabku
“Ya” jawabnya kemudian “ayok turun” ajaknya.
“Yun” Beliau kembali memanggil namaku, aku baru membuka pintu mobilnya untuk turun
“Ya pak” Jawabku “Kenapa?”
“Kapan kamu siap?” tanyanya membuatku bingung
“Siap untuk apa?” tanyaku
“Menikah denganku”
“Me.. Menikah?” tanyaku mengulang-ulang, Menikah.. hal yang bahkan belum kufikirkan
“Ya”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin berlama-lama di hubungan yang bukan lagi usiaku Yun. Nana butuh kamu. Tapi saya tidak mau menikahi kamu dengan Alasan Nana. Saya juga sudah jatuh cinta sama kamu Yun”
“Sejak kapan?” tanyaku heran
“Sejak kamu memperhatikan Nana seperti anakmu. Dan Nana juga menyukaimu. Sifat dan sikapmu baik, saya yakin kamu bisa jadi Istri dan Ibu yang baik” jelasnya
Fikiranku melayang jauh beberapa tahun sebelum hari ini. Pria dihadapanku yang tengah melamarku adalah pria yang kujatuh cintai pada hari itu. Pada saat ia menolongku untuk mengeluarkan motor dari parkiran CFD
“Pak”
“Ya” jawabnya
“Jauh sebelum itu saya udah suka sama Bapak”
“Ha?”
“Iya”
“Kapan”
“4 tahun lalu”
“Ha?”
“Iya. Di CFD”
“Kapan?” hanya kata ‘kapan’ yang beliau ulang-ulang menjelaskan keterkejutan pada pernyataanku
“Waktu itu bapak bantu saya diparkiran. Dan pertemuan kita disekolah adalah pertemuan ke dua. Sejak hari itu saya menyebut bapak dalam doa saya. Setiap shalat, saya berdoa ingin bertemu dengan bapak lagi. Waktu itu saya dapat tawaran menjadi guru Nana. Tapi saya tidak tau bapak adalah ayahnya Nana. Begitu tau, saya bahagia dan juga kecewa. Karna saya fikir olin adalah mama nya Nana. Dan begitu tau bahwa olin adalah tante nya saya merasa ada yang melegakan. Lega pada hal yang saya tidak tau. Dan hari ini, bapak melamar saya. Saya siap. Kapanpun saya siap menjadi istri bapak. Mendampingi bapak dan menjadi ibu Nana, juga anak kita kelak. Tapi saya berasal dari keluarga yang berbeda dengan Bapak. Saya yatim piatu. Apakah bapak tidak keberatan dengan itu?” tanyaku, air mataku menetes kemudian
“Siapapun kamu, saya suka kamu karna dirimu. Saya cinta kamu karna dirimu.” Pak tama mengusap air mataku
“Terimakasih pak” jawabku
“Mas, mulai hari ini kamu panggil Mas Tama ya” ucapnya
“Iya Mas” ucapku malu, lalu menundukkan wajahku
“Ayok turun” kemudian Mas Tama membuka pintu dan meraih jemariku.
“Sebentar” lanjutnya. Ia mengambil sesuatu dari dashbord mobilnya yang berada didepanku. Kulihat sebuah kotak cincin berwarna merah. Ia membuka nya dan menyematkan dijariku dalam posisi aku masih duduk dikursi mobil sementara ia berdiri diluar mobil “Menikahlah denganku Yun”.
Aku mengangguk. Air mataku menetes. Lelaki ini, tidak pernah kubayangkan menjadi pendampingku tapi terus kusebut dalam doaku. Lelaki ini tidak pernah kumimpikan akan menjadi suamiku. Tapi tak pernah absen kupintakan pada-Nya. Allah membayar lunas permintaanku tanpa babibu, tanpa basa-basi. Tanpa embel-embel. Allah berikan langsung permintaanku sejak empat tahun yang lalu. Seseorang yang kusebut dalam doa, DIA hadirkan dalam nyata
Mas Tama menuntunku berdiri. Aku berdiri dihadapannya. Ia menyeka air mataku lalu menarik pingganggku dan memelukku.
“Cincin ini kugunakan waktu melamar Mama nya Nana” bisik Mas Tama tepat di telingaku
            “Ha?” sentakku kaget
Mas Tama melepaskan pelukannya lalu menggenggam tanganku dan berjalan menuju rumah.
“Kalau tidak memikirkan tetangga melihat kita, aku ingin terus memelukmu Yun” ucap Mas Tama. “Sungguh, aku sudah memendam rasa ini begitu lama. Takut kau meninggalkan Nana karna ku” sambungnya
            “Ya Mas. Segera akan kita urus administrasi pernikahan kita”
            “Kamu mau pernikahan seperti apa?”
            “Saya?”
            “Ya”
            “Yang sederhana saja Mas. Kalau merepotkan tanpa resepsi juga saya tidak masalah”
            “MasyaAllah. Calon istri ku memang berbeda dari gadis kebanyakan”
            “Ah Mas ini. Saya anak tunggal. Tidak punya saudara. Sekalipun resepsi mewah, tidak        ada pihak saudara saya yang hadir” ucap Yuni, suara nya lirih sekali.
            “Mulai hari ini, kamu adalah saudara saya. Kita akan bersama sampai Allah memisahkan kita karna kematian. Saya adalah saudara kamu. Nana adalah putri kita. Kamu juga punya Olin dan suaminya. Kamu jangan sedih lagi. Bahagialah denganku Yun. Dampingi aku”
“Ya Mas”

APRIL - DESEMBER (Chapter X)


 Chapter X

DESEMBER
            Aku diantar April sampai depan pagar kos. Aku masih shock dengan apa yang kualami barusan. April langsung pergi begitu aku melambaikan tangan padanya. Sambil berujar ‘nanti kuhubungi ya’. Aku hanya menjawab ya
            Akhirnya, cerita-cerita seorang upik abu diterima oleh keluarga pangeran hanya terjadi dalam dongeng dan ftv. Mungkin beberapa orang dibelahan dunia ini. Hanya beberapa. Dan aku bukan salah satu nya. Aku sama sekali tidak kecewa, karna aku mengerti betul dimana asalku dan kemana tujuanku. Aku juga tidak mencintai Pria bernama April itu, hanya kagum dan merasa aku jadi spesial karna bisa bersamanya. Bisa digandeng oleh seorang Aprilyan Riadi yang superior.
            Aku baru selesai mandi ketika April mengabarkan telah sampai di rumah sakit. Dia tidak mengatakan apapun lagi dan tidak menghubungiku hingga 10 hari lamanya. Kufikir hubunganku telah selesai sesaat setelah dia mengantarkanku pulang ke kos, aku tidak marah dan tidak juga kecewa. Karna aku tau, menjadi bagian dari mereka hampir jadi hal yang mustahil. Aku juga belum mencintai April, aku takut jika ia menentang ibunya untuk membelaku sementara aku bahkan hanya memanfaatkannya untuk ku pamerkan.
            Dalam kisah singkat ini,kusadari bahwa niat buruk tidak akan menemukan tujuan baik. Sejak awal aku hanya menyukai April dari penampilannya yang bisa kupamerkan kepada orang—orang. Untuk pembuktian diri bahwa aku si upik abu ini mampu dapat seorang yang bak pangeran. Terimakasih April, untuk waktu yang singkat ini.

APRIL
Mama keluar rumah sakit setelah dirawat 7 hari, agak lebih lama dari biasanya. Selama itu aku dan Mbak Nana bergantian menjaga Mama sampai 5 hari mama di rawat.
Setelah menyelesaikan pembayaran, aku pulang bersama Mama. Mbak Nana udah lebih dulu pamit balek ke Jakarta karna ada yang mau diurus. Selama Mama dirawat aku tidak pernah menghubungi ‘perempuan’ itu, ia juga tidak menghubungiku.
“Kamu sudah putuskan wanita itu Pril?” tanya Mama
            “Ma”
            “Percayalah dia bukan wanita baik, dia ndak cocok untuk Mas. Mas nya mama pantas dapat yang lebih baik. Nanti mama carikan, dia bukan kelas kita”
            “Mama belum kenal sama dia, dia baik Ma”
            “Kamu itu siapa? Dia siapa?”
            “Mama jumpa dulu ya sama dia, April yakin mas pasti suka sama dia”
            “Ga perlu, mama cuma mau kamu putusin dia. Gak sulit kok kalau kamu mau buat mama senang”
Aku sama sekali tidak menjawab. Aku hanya menjaga mama agar tidak drop lagi. Nanti akan ku perkenalkan dia dengan ‘perempuan’ itu pelan-pelan. Sekarang bukan waktu yang tepat.
            Setelah mama istirahat dan ku serahkan semua barang-barang mama sama mba yang bantu di rumah. Aku pamit karna ada kegiatan di Kantor. Aku mengendarai mobilku pelan, begitu melewati flyover sudirman aku sedikit kesal dengan pengendara yang menyalip mobilku dengan kecepatan tidak wajar. Seorang anak berpakaian sekolah, untuk beberapa alasan aku tidak menyukai pengendara motor. Mereka ugal-ugalan seperti pemilik jalan.
            Sekilas aku mengingat ‘wanita’ku yang kemana-mana mengendarai motor yang sering berganti-ganti. Aku tau dia meminjam motor teman-temannya untuk keperluannya. Kadang caranya mengendarai motor membuatku sedikit khawatir.
‘Kamu itu kalau bawa motor itu jangan meleng’
‘Mana? Ga pernah kok’
‘Punya SIM ga kamu?’
‘Punya dong, kenapa sih?’
‘Kamu itu bikin aku khawatir, aku ga suka pengemudi motor’
‘Apaan sih Pril? Kamu itu beruntung lahir dan besar di keluarga kaya yang mampu memberikan kamu fasilitas mobil. Kalau kamu jadi aku atau orang lain yang cuma bisa pakai motor kemana-mana bahkan cuma pinjeman kamu pasti ga akan ngomong kayak gini’ jelasnya panjang lebar
‘Iya udah ah, aku lagi males’
‘Mas’
‘Apa?’
‘Ternyata kita emang ga cocok, circle hidup kamu sama aku itu benar-benar berbeda. Kita ga satu pemikiran’
            ‘Jadi pasangan itu ga harus satu pikiran, bagus dong ada banyak pendapat biar beragam. Lagian kalau arah bicara kamu adalah harta, udah ya mas males nanggepinnya. Kalau kita bareng besok, milikku ya milikmu juga’
            Pembicaraan kami berhenti sampai disitu, aku merasa ‘wanita’ku seakan mengkhawatirkan banyak hal yang tidak bisa kupahami. Aku melihat dia memiliki banyak masalah. Melebihiku ketika menghadapi perencanaan proyek yang banyak.
            Aku mencari parkiran begitu menutup kembali kaca mobil untuk identifikasi masuk kantor. Ku lihat rekanku melambai kearahku. Rekan-rekan yang tidak kuharapkan. Ku bunyikan klakson sekali tanda aku melihatnya tanpa menurunkan kaca mobilku.
            Hariku terasa berat ketika mengingat kembali kalimat mama. Bagaimana caraku mendekatkan mama dan ‘wanita’ku. Ku hela nafasku ‘sudah Pril, kerja dulu’

DESEMBER
            Beberapa kali kupandangi handphone-ku. Benar-benar tidak dihubungi April. Apakah dia benar-benar menyerah untuk apa yang baru saja kita mulai? Tapi aku kembali berfikir, apa aku mengharapkan ia untuk mempertahankanku? Bagaimana jika ia tau aku hanya menjadikannya pajangan untuk ku pamerkan karna indah setelah ia berjuang dan mempertahankanku?
            Sudahlah des, banyak hal yang harus kau fikirkan. Kuliah mu butuh keseriusan
            “Mama udah sembuh cik’ sepenggal kalimat dikirim oleh kontak bernama ‘April’ dari seberang sana, membuatku membentuk sebuah senyum. ‘ternyata dia masih menganggapku ada’

CHAPTER IX <--Sebelumnya--Selanjutnya--> CHAPTER XI (SOON)

Sepotong Daun Kering #5


5
Bahagia itu kita yang ciptakan, bukan dia atau mereka
Maybe it's intuition
But some things you just don't question
Like in your eyes, I see my future in an instant
And there it goes,
I think I found my best friend
I know that it might sound
More than a little crazy
But I believe

I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life

There's just no rhyme or reason
Only the sense of completion
And in your eyes, I see
The missing pieces I'm searching for
I think I've found my way home
I know that it might sound
More than a little crazy
But I believe

I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
----“I Know I Love You before I Meet You”, Savage Garden

Alun-alun kota Jogjakarta tidak seperti biasanya. Mungkin karna hari ini adalah kali pertama Karin menemani Ayat ngamen. Rasanya tidak hanya bahagia namun tak terkira. Pacaran seperti ini belum pernah dibayangkan Ayat sebelumnya. Ketika kekasihnya mengirimkan SMS untuk bersedia menemani mengamen di Alun-alun demi mengisi malam minggu kali ini.
Tiga jam yang lalu
            Hai, malam ini kita jalannya ke alun-alun ya sebait SMS mendarat di hp Ayat
            Boleh, kamu mau naik becak hias ya?
            Enggak kok
            Terus mau liat apa?
            Kamu bawa gitar ya, ngamen di alun-alun. Aku temani
            Kamu serius mau nemani aku ngamen?
            Iya
            Oke sayang. Aku jemput kamu ba’da Isya ya
            Sipp
            “Kita ngamen disitu aja ya” tunjuk Ayat pada salah satu tempat yang letaknya lumayan strategis setelah melihat kesegala penjuru alun-alun kota Yogyakarta yang ramai oleh segala kalangan khususnya muda-mudi
            “Kamu biasanya ngamen dimana?” tanya Karin kemudian
            “Ya gak ada tempat khusus sih, dimana yang posisinya menguntungkan. Ramai dan enak untuk ngamen”
            “Oh” jawab Karin sambil mengangguk-angguk
            “Posisi ngamen itu sebenarnya penting banget buat yang jadikan ngamen sebagai sumber menyambung kehidupan apalagi yang menggantungkan hidup dari mengamen Rei. Kalau yang kayak aku sih, dimana aja oke. Karna ketika aku megang gitar dan nyanyi rasanya aku gak peduli dengan sekelilingku. Aku merasa telah menyatu dengan laguku dan aku merasa hidupku indah hanya dengan gitar”
            “Oh” Karin mengangguk-angguk takjub. Baginya sebelum mengenal Ayat, ia tidak pernah tau gimana perasaan seorang penyanyi ketika berada diatas pentas atau panggung besar. Dihadapan ribuan bahkan puluhan ribu penonton. Bagaimana mereka menghadapi kegugupan dan harus tetap tampil maksimal dengan suara yang tetap bulat tanpa cacat
            “Kita ngamen disini Rei” ucap Ayat begitu sampai ditengah alun-alun dekat kursi yang sebagian sudah diduduki sepasang muda mudi
            Ayat mulai memetik gitarnya, Karin memandang kearah sekitar. Sepasang kekasih tampak nmemperhatikan penampilan Ayat ditengah alun-alun yang terlihat padat
And I don’t understand
How you slipped through my hands
And I’ll do all I can
To get you out of my head
So, when I call you in the middle of the night
And I’m choking on the words ‘cause I miss you
Baby, don’t tell me I’m out of time
I got so much of my loving to give you
In the middle of the night
In the middle of the night
I need you
In the middle of night
                        ---“middle of the night” The Vamps
Karin memandang ke arah Ayat sesekali, mencuri pandang. Entah sejak kapan hatinya tidak lagi merasa sepi. Ayat selalu tau bagaimana cara untuk membuatnya gembira. Karin tidak lagi ingin bermimpi, harapnya adalah setiap hari nyata. Karna kenyataannya jauh lebih indah dibandingkan mimpi. Dalam keterbatasan biaya hidup Ayat menjanjikan kebahagiaan tidak harus karna uang, bagi Karin yang sudah susah sejak kecil. Ayat adalah dahaga lain ditengah kehausan.
Sejatinya cinta itu menggenapkan, ia hadir untuk kekuatan dari ketidakberdayaan. Cinta adalah senyum ditengah kesedihan. Tumbuh dan berkembang sebagai tetesan embun ditengah kekeringan. Untuk cinta, berbahagialah ketika ia datang.
...
            “Denger-denger anak kos belakang kemarin malam kemalingan girls” Cerocos Kinan sambil memegang cup ice cream
            “Seriusan Nan? Gimana kejadiannya?” cerocos Kiki tak mau kalah duduk disofa sebelah Kinan
            “Kosannya kosong, pada balik kampung katanya”
            “Kata Siapa?” sambung Ifaah
            “Bude Ani yang tinggal di Gg depan situ. Deket warung Ceh Olin”
            “Apaan yang ilang?” sambung Kiki
            “Trus, anak-anak udah pada tau?” serbu Tantri
            Kinan geleng-geleng demi jawaban yang diinginkan anak-anak kos nya. Ia juga menyesal kenapa tidak berlama-lama duduk dideket warungnya Ceh Olin siang tadi. Setidaknya bisa lebih banyak dapat informasi tentang kos belakang yang kemalingan
            “Katanya ada yang ninggalin motor sama laptop. Itu yang punya laptop jumat ini mau sidang. Do’i balik kampung mau minta restu nyokapnya mau ujian sidang gitu. Kesian itu deh menurut gue”
            “Jahat banget tu yang punya kerjaan, apa gak bisa gitu nyari uang pakek cara halal. Rezeki udah diatur sama Allah juga padahal” geram Dhita yang baru balik kos langsung nimbrung
            “Doakan aja malingnya cepat insyaf sebelum ketangkap, sama yang kemalingan diberi ketabahan sama Allah” sambung Karin yang tengah berjibaku dengan alat-alat masaknya
            “Meskipun udah insyaf tetap harus dapet ganjaran juga sih mbak” cerocos Dhita dengan wajah ‘tidak termaafkan untuk sang maling’. “Nihya kalau perlu digebukin massa” sambungnya tanpa henti
            Karin, Kinan, Tantri, Kiki, Ifa, Egi dan Yoli terdiam. Mereka bermain pada fikirannya masing-masing. Meskipun begitu, hanya satu hal yang akan mereka maklumi. Dhita begitu benci dengan maling. Baik maling kelas kakap setingkat koruptor maupun maling kelas teri seperti maling ayam dan maling jemuran. Dhita punya trauma berat sekaligus kebencian yang mendalam terhadap maling.
Ayahnya meninggal karna digebukin massa awal tahun 2003 yang dituduh jambret karna kebetulan lewat pada saat massa mengejar penjahat sebenarnya. Meninggal dalam keadaan mengenaskan. Tiga tulang rusuk dan tulang pinggangnya patah. Mirisnya lagi massa yang ikut dalam pengeroyokan ayahnya tidak mendapatkan hukuman apa-apa.
Abang pertamanya juga dipenjara karna tuduhan komplotan penipuan. Yang pada kenyataannya, abang Dhita hanya menolong seorang perempuan yang mengatakan bahwa ban motornya bocor, namun kenyataan lain adalah wanita itu justru melarikan motor pinjaman dari teman satu kerjaannya.
Memikirkan kondisi Abang sulungnya dipenjara, sang Ibu mengalami sakit yang berkepanjangan akhirnya meninggal karna tidak kuat mengurus Dhita dan dua orang adiknya.
Tiga minggu setelah Ibu Dhita meninggal, Dhita dihadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa abang sulungnya bunuh diri dipenjara. Dhita ‘terpaksa’ hidup dan menghidupi kedua adiknya yang masih kecil dan nyaris putus sekolah.
Dimana bagian dari diri Dhita yang tidak membenci kejahatan, baik itu ringan maupun berat. Baginya sama saja. Mereka adalah orang-orang yang tidak punya kehidupan dan hanya bisa memberikan sakit kepada orang lain. Tidak mau berusaha dan mau enaknya saja.
...
            Dimana Rei?
            Kampus Yat, kenapa?
            Lunch bareng? Aku samperin ya
            Lagi asisten nih. Masih banyak junior disini. Setengah jam lagi kelar. Atau mau duluan?
            Gak deh, Aku tunggu aja. Good Luck sayang !
            Thankyou
...
            “Besok aku nampil di acara pembukaan swalayan deket Kentungan situ, kamu mau nemenin aku ga Rei?” tanya Ayat pada Karin
            “Jam berapa?”
            “Jam 10 pagi”
            “Bentar ya” Karin mengecek jadwal kuliahnya besok hari “Wah aku ada kelas”
            “Yah. Ga semangat ni”
            “Jangan dong, kan aku selalu disini” ucap Karin sambil menunjuk ke arah hati Ayat
            “Gudeg-ku jadi hambar tau gak?”
            “Lho, kenapa?”
            “Manis nya diambil kamu” ucap Ayat sambil tertawa
            “Ih kamu” Karin mengulum senyum
            “Emang kamu aja yang bisa gombalin aku?”
...
            Ayat melihat sekelilingnya. Ia belum juga menemukan Karin berada diantara ramainya pengunjung swalayan. Sebelum berangkat tadi Ayat sempat menghubungi Karin. Menanyakan apakah Karin bisa datang atau tidak. Karin tidak menjanjikan apa-apa. Dia bilang bisa datang jika dosen nya berhalangan hadir. Atau jika jadwalnya di re-schedule. Fix-lah ga bakal hadir cewe gua.
            Ayat mulai memainkan gitarnya, lalu memejamkan mata merasakan bait demi bait lagu nya mengalun. Sesekali memandang kearah penonton yang mau menyempatkan diri mengamati ia bernyanyi. Pengunjung swalayan hari itu ramai sekali, kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu penyerbu barang-barang diskon dan doorprise.
...
            Karin baru saja masuk kedalam swalayan ketika Ayat baru membawakan lagu pertama. Karin langsung tau posisi Ayat menyanyi karna dikerumuni oleh beberapa pengunjung. Karin mendekat dan berada di samping kanan Ayat
            “Kenapa pejamin mata sih? Aku disini loh” ucap karin dalam hati
...
            Ayat melihat ke arah penonton ketika ia tengah menyanyikan lagu ke dua. Pandangannya menyisir semua pengunjung swalayan siang itu. Sekilas ia melihat sosok yang sangat dia kenal. Karin !
            Ayat mengerjapkan matanya berulang kali. Memastikan yang ia lihat memang Karin. Bukan sekedar bayangan atau halusinasinya saja. Karin ! ya Karin ! wanita itu memang benar Karin. Dan kali ini ia tidak salah lihat.
            Wanita itu tengah mengambil sebuah cup puding kecil berisi susu coklat yang diberikan seorang Sales Promotion Girl (SPG) susu kepadanya. Dan setelah menerimanya Karin memandang ke arah Ayat. Ia tampak sedikit terkejut karna Ayat tengah memandang kearahnya lalu kemudian tersenyum. Ayat membalasnya sambil terus melanjutkan dan meneyelesaikan penampilannya.
            Seperti dalam sebuah pacuan kuda. Ada sesuatu yang besar dalam diri Ayat memacu semangatnya. Karin berpengaruh sebesar itu. Ayat tidak menyadari sejak kapan ia menjadi sosok yang ‘hampir’ ketergantungan dengan Karin. Tapi Karin selalu membuat Ayat menjadi lebih semangat. Karin selalu punya cara membuat Ayat berharga.
            Ayat menyelesaikan lagu ke empat. Kali ini Dia membawakan lagunya American Author – Best Day of My Life.
I had a dream so big and loud
I jumped so high I touched the clouds
Wo-o-o-o-o-oh, wo-o-o-o-o-oh
I stretched my hands out to the sky
We danced with monsters through the night
Wo-o-o-o-o-oh, wo-o-o-o-o-oh

I'm never gonna look back
Woah, never gonna give it up
No, please don't wake me now

This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife
This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife

I howled at the moon with friends
And then the sun came crashing in
Wo-o-o-o-o-oh, wo-o-o-o-o-oh
But all the possibilities
No limits just epiphanies
Wo-o-o-o-o-oh, wo-o-o-o-o-oh

I'm never gonna look back
Woah, never gonna give it up
No, just don't wake me now

This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife
This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife

I hear it calling outside my window
I feel it in my soul (soul)
The stars were burning so bright
The sun was out 'til midnight
I say we lose control (control)

This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife
This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife

This is gonna be, this is gonna be, this is gonna be
The best day of my life
Everything is looking up, everybody up now
This is gonna be the best day of my life
My li-i-i-i-i-ife
----“Best Day of My Life”, American Authors.

...
            “Bentar ya, aku ke manajemen nya dulu”
            “Ini udah kelar?”
            “Belum. Aku istirahat. Ya kali aku nyanyi terus. Ariel peterpan kalah ntar” canda Ayat “Tunggu ya sayang, kamu jangan kemana-mana. Nantik ilang”
            Ayat berjalan setengah berlari meninggalkan Karin didekat panggung. Pengunjung lain sudah berpencar menjauhi panggung, mencari barang-barang diskon yang mereka butuhkan. Karin berjalan ke arah barisan permen. Ia melihat permen pelega tenggorokan. Ia ambil 2 bungkus lalu berjalan ke arah kasir.
            Seseorang memegang bahu Karin ketika Karin tengah melihat beberapa snack anak-anak tersusun rapi di dekat meja kasir. Strategi marketing yang selalu ia lihat hampir di semua swalayan yang ia kunjungi. Ketika orangtua tengah melakukan penghitungan untuk pembayaran belanjanya. Si anak tentu akan meminta dibelikan snack diatas meja. Jika tidak dibelikan si anak akan menangis dan menarik perhatian pengunjung yang lain yang tentu saja mengganggu. Mau tidak mau si orangtua akan membelikan apa keinginan anaknya. Hmmm.
            “Karin”
            “Ya”
            “Kan bener kamu”
            “Eh kak Andri”
            Andri Rimawan. Pria yang selalu berpenampilan rapi dan necis. Adalah kakak tingkat setahun diatas Karin. Sejak ospek hari pertama, Pria ini sudah berusaha mendekati Karin. Karin yang awalnya mengira hanya untuk keperluan ospek  menganggap wajar perlakuan kak Andri, seniornya. Pendekatan itu berlangsung hingga Karin semester 3 dan kak Andri semester 5. Beberapa kali Karin menolak ajakan untuk keluar malam minggu namun kak Andri tidak pernah menyerah dan terus berusaha.
            Sejujurnya Karin tidak begitu cantik. Tapi ia memang sosok wanita yang menarik dan manis. Untuk beberapa keadaan Karin terlihat sangat menarik. Ketika Karin meng-handle satu acara, Karin selalu energic. Energy positif itu yang membuat semua yang melihatnya merasa jatuh cinta.
            “Dari tadi aku panggil, kamu melamun?” tanya nya
            “Iya sedikit” jawab Karin sembari tersenyum, tentu saja. Senyum getir
            “Sama siapa Rin?”
            “Tadi perginya sendiri Kak”
            “Teman-temanmu?”
            “Pada ada jadwal semua Kak”
            Andri sudah menyelesaikan pembayarannya. Dia masih menunggu Karin yang tengah bertransaksi.
            “Mau langsung pulang Rin?”tanya Andri
            “Enggak Kak, nunggu Ayat”
            “Loh, katanya sendiri”
            “Iya tadi berangkatnya sendiri. Ayat udah duluan. Karna nampil tadi disini” jawab Karin sambil melambai ke arah Ayat yang tengah mencari-carinya. “Disini” ucapnya sedikit teriak ke arah Ayat
            Setelah Ayat berada didekatnya. Karin mengenalkan kak Andri kepada Ayat “Yat, ini kak Andri. Senior ku di kampus”
            “Ayat” ucap Ayat sembari mengulurkan tangan
            “Andri” jawab Andri dengan muka sedikit jutek. “Siapa Rin?” tanya Andri kepada Karin
            “Pacarku kak” jawab Karin singkat “Ohya kami duluan ya Kak” sambung Karin
            “Ohiya iya silahkan”ucapnya
            Karin tersenyum lalu menggandeng tangan Ayat dan pergi meninggalkan Andri yang diam dengan ekspresi yang menunjukkan ketidak sukaan pada Ayat dan juga Karin. Lebih tepatnya pada hubungan mereka.
            “Andri itu sepertinya tidak suka aku ya Rei”
            “Kok kamu bilang gitu?”
            “Di matanya ada pisau dan diatas kepalanya ada tanduk merah”
            Karin tertawa dengan candaan Ayat. “Ah ada-ada aja kamu” ucapnya “Kok aku ga liat?” Sambung Karin
            “Eh beneran sayang. Ya iyalah kamu ga liat. Ini cuma cowok yang bisa lihat”
            “Loh kenapa gitu?”
            “Ya karna naluri sesama lelaki”
            “Emang lelaki ada naluri begituan Yat?”
            “Yaelah ada lah. Kamu pernah dengar lagunya Samson yang Naluri Lelaki?”
            “Pernah” jawba Karin
            “Nah gitu, ada Rei”
            “Tapi kan itu lagunya bukan untuk kondisi ini”
            “Itu lagu untuk dia ke kamu”
            “Eh beneran?”
            “Ya ga tau”
            “Yeee. Udah ah, kenapa kita jadi bahas kak Andri sih”
            “Iya juga. Ga ada bahan sayang” jawab Ayat.
Firasat ini. Rasa rindukah ataukah tanda bahaya Ayat menyanyikan sebait lagunya Marcell
“Kalau itu lagu nya dari aku Rei” sambung Ayat
“Kok berhenti? Lagi dong”
“Sedikit aja. Kalau banyak-banyak nanti kamu bosan”
“Kapan sih kamu bikin aku bosan? Kamu nyanyi dari pagi ketemu pagi juga aku suka”
“Yee. Paginya suaraku ilang Rei”, “Eh tapi kalau suara aku ilang kamu tetap mau sama aku kan?” tanya Ayat
“Emang aku suka kamu karna kamu hobi nyanyi”
“Jadi ga suka aku hobi nyanyi? Yah”
“Ya suka. Tapi itukan cuma bonus Yat”
“Jadi kamu suka aku kenapa?” tanya Ayat sambil memegang bahunya Karin mengarahkan Karin agar memandang wajahnya
“Ih” Karin menutup wajahnya yang sedikit memerah. Ayat mengembalikan Karin ke posisi sebelumnya “Ya karna kamu, ga ada alasannya” jawab Karin cepat.
Dari awal Karin menerima Ayat sebagai kekasihnya, Karin tidak pernah memberi alasan kenapa ia mau menjadi kekasih Ayat. Yang Ayat tau, Karin sangat mengagumi Ayat. Itu terlihat dari setiap Ayat melakukan hal apapun, mata Karin selalu berbinar. Bangga atas apapun yang Ayat lakukan. 
"Ohiya ini untuk kamu" Karin menyodorkan permen pelega tenggorokan yang tadi dia beli
"Makasih Rei" Ayat menerima dengan senang hati, membuka satu permen dan menyodorkannya ke Karin. Karin menerima nya. Ayat membuka satu lagi untuknya
"Biar bisa ngalahin Ariel" ucap Karin tertawa
"Kamu lebih suka aku atau Ariel?" tanya Ayat tiba-tiba
"Ya Ariel lah"
"Serius?"
"Iya" jawab Karin mantap
"Kenapa?"
"Ya Karna Ariel lebih ganteng dari kamu" jawab Karin "Cewe mana yang ga suka sama Ariel"
"Aku ga suka"
"Yee kamu kan cowo" Jawab Karin meninggalkan Ayat yang hampir menghentikan langkahnya
"Rei"
...
            Beberapa bulan belakangan Karin semakin susah ia hubungi. Telfonnya tidak pernah Karin angkat dan Pesan singkat-nya tidak pernah Karin balas. Kalau ia menemui Karin dikampus, Karin seringkali menghindar dan mengatakan ada kelas. Ternyata alasannya adalah Karin sudah memiliki kekasih. Dan Pria itu kini ada dihadapannya. Menggandeng tangan Karin, tertawa bersama karin dan meninggalkannya bagaikan pecundang yang kalah perang.
            Andri mengepalkan tangannya. ‘Sial’.

Aku adalah lelaki
Yang tak pernah lelah
Mencari wanita

Aku adalah lelaki
Yang selalu gundah
Menunggu wanitaku oh ooh yeah

Oh aku adalah lelaki
Yang pantang menyerah
Memikat wanita

Aku adalah lelaki
Yang selalu ingin
Dibuai wanitaku ooh ah

Tolong dekati aku
Tolong hampiri aku
Tolong jamahi aku

Agar aku bijaksana
Agar aku bahagia
Agar aku merasakan cinta oooh

Naluriku sebagai lelaki
Membuatku merindukan
Pujaan dari wanita
Oh yeah yeah heah

 

----“Naluri Lelaki”, Samsons



baca sebelumnya
Sepotong Daun Kering #4

baca selanjutnya
Sepotong Daun Kering #6