Ini BAGIAN IV (Terakhir), sebelum lanjut. Yuk, ke BAGIAN III dulu
Bagian IV
![]() |
Liontin Kupu-Kupu (Sumber: Google) |
Kunaikkan
pandanganku kearah pak Tama. Ia mengulurkan tangannya dan langsung ku raih
“Terimakasih
pak” ucapku
“Yok yun”
“Iya pak” jawabku. Ku sadari satu hal, tanganku masih digenggamannya dan ada rasa enggan dalam hatiku melepaskannya ‘ah biarlah beliau yang melepaskan jika tersadar’ fikirku tersenyum. Senyumanku menimbulkan bunyi yang kemudian disadari oleh Pak Tama
“Duh, maafkan saya Yuni. Saya tidak bermaksud lancang terhadapku” ucapnya tersentak lalu melepaskan tangannya
“Maafkan saya pak, saya juga tidak sadar” ucapku yang tentu saja berbohong
“Yok yun”
“Iya pak” jawabku. Ku sadari satu hal, tanganku masih digenggamannya dan ada rasa enggan dalam hatiku melepaskannya ‘ah biarlah beliau yang melepaskan jika tersadar’ fikirku tersenyum. Senyumanku menimbulkan bunyi yang kemudian disadari oleh Pak Tama
“Duh, maafkan saya Yuni. Saya tidak bermaksud lancang terhadapku” ucapnya tersentak lalu melepaskan tangannya
“Maafkan saya pak, saya juga tidak sadar” ucapku yang tentu saja berbohong
Pak Tama
mempersilahkan aku jalan duluan. Kami mengisi kursi kosong diantara pembeli
lainnya. Tidak lama kemudian mas pelayannya datang untuk menanyakan pesanan
kami. Aku memesan sate kambing dan pak Tama memesan sate ayam. Dengan dua gelas
teh es.
![]() |
Sate Madura (Sumber: Google Image) |
“Kamu suka kambing Yun?” tanya Pak Tama kemudian
“Iya pak. Udah lama saya tidak beli sate kambing”
“Bukannya kamu sering lewat sini? Kenapa tidak mampir?”
“Kalau saya makan sate kambing sendirian, saya jadi sedih karna ini kesukaan Ibu saya Pak. Alasan lain, karna sate kambing bagi saya sedikit mahal” jawabku sembali tersenyum
“Loh, sekarang sate nya jadi murah karna saya?” tanya Pak Tama
“Bukan Pak. Tepatnya jadi Gratis” jawabku tertawa
“Loh saya berharapnya kamu yang traktir”
“Saya pak?” tanyaku kemudian
“Iya. Kan kamu yang gajian”
“Yaudah deh pak” ucapku kemudian disambut tawa Pak Tama. Beberapa pelanggan melihat sebentar ke arah kami
“Kenapa Pak?” tanyaku heran
“Ekspresi mu itu loh Yun. Lucu banget” jawabnya masih tertawa membuatku malu. Kemudian ku raih tangannya untuk menenangkan agar tidak menyita perhatian orang-orang disekitar kami
“Pak, udah ah. Saya malu diliatin orang” ucapku
Tawanya
berhenti. Matanya bergantian melihat kearah tanganku yang memegang tangannya,
lalu memandang kearahku. Aku menarik tanganku kemudian. merasa begitu lancang
pada ‘wali muridku’. Begitu ku tarik tanganku, Pak Tama meraih kembali
tanganku.
“Biarkan
sebentar saja. Saya merasa nyaman” ucapnya. Membuat jantungku serasa ingin
berhenti berdetak. Aku ingin teriak. Dadaku sesak. Atas apa yang tengah
kuhadapi. Hubungan macam apa yang kemudian akan kubangun bersama lelaki di
hadapanku. Bahasa tubuhnya jelas tidak lagi menganggapku ‘guru’ dari anaknya.
Aku
terdiam. Membiarkan ia menggenggam tanganku. Aku tidak berani menatap wajahnya.
Wajahku terasa panas dan aneh. Beliau
adalah lelaki pertama yang memperlakukanku seperti wanita.
“Yun”
panggilnya setelah beberapa menit kami saling diam
“Ya Pak” jawabku mengangkat kepala memberanikan diri menatap wajahnya
“Ya Pak” jawabku mengangkat kepala memberanikan diri menatap wajahnya
Pak Tama
ingin bicara yang kemudian batal karna pelayan datang membawa pesanan kami.
“Makan dulu Yun”
“Iya Pak”
“Makan dulu Yun”
“Iya Pak”
Akupun
melahap makananku segera. Ingin suasana aneh ini segera berakhir. Aku ingin
pulang. Ingin tidur dikasurku dan melanjutkan ini didalam mimpi. Aku terlalu
takut menghadapi kenyataan setelah ini. Entahlah, antara takut dan belum siap.
Kami
selesai makan tanpa bicara sepatah katapun. Setelah membayar dan masuk ke dalam
mobil Pak Tama
“Maaf yun”ucap pak Tama lalu memasang savety belt ku
“Eh gapapa Pak. Saya bisa sendiri” jawabku kemudian membuat Pak Tama salah tingkah, akupun sama
“Maaf yun”ucap pak Tama lalu memasang savety belt ku
“Eh gapapa Pak. Saya bisa sendiri” jawabku kemudian membuat Pak Tama salah tingkah, akupun sama
Kami
menikmati perjalanan pulang tanpa kata. Diam seribu bahasa. Pak Tama pun begitu.
Ia tak mengajakku bicara. Setelah sampai didepan rumah, kami tidak langsung
turun. Ada yang menghambatku untuk turun. Pak Tama pun begitu
“Yun”
ucapnya setelah beberapa waktu
“Ya”
“Kamu tinggal sendirian?”
“Iya Pak. Ngekos”
“Orangtua kamu?”
“Udah meninggal keduanya Pak” jawabku lirih. Terlintas dibenakku wajah Ibu dan Ayah untuk beberapa saat.
“Maafin saya, tidak bermaksud membuatmu sedih” ucapnya lalu meraih tanganku (lagi) untuk kesekian kalinya. Dan (aku?) hanya menerima perlakuan beliau dengan lapang dada. Lapang dada? Kamu menyukainya yun... “kamu punya saudara Yun?”
“Saya anak tunggal Pak. Ayah Ibu juga anak tunggal. Tapi saudara jauh ada”
“Saya termasuk dalam saudara jauh mu juga Yun?” tanyanya
“Ha?” ujarku heran
“Hahaha saya bercanda” ucapnya tertawa
“Yun”
“Iya Pak”
“Ya”
“Kamu tinggal sendirian?”
“Iya Pak. Ngekos”
“Orangtua kamu?”
“Udah meninggal keduanya Pak” jawabku lirih. Terlintas dibenakku wajah Ibu dan Ayah untuk beberapa saat.
“Maafin saya, tidak bermaksud membuatmu sedih” ucapnya lalu meraih tanganku (lagi) untuk kesekian kalinya. Dan (aku?) hanya menerima perlakuan beliau dengan lapang dada. Lapang dada? Kamu menyukainya yun... “kamu punya saudara Yun?”
“Saya anak tunggal Pak. Ayah Ibu juga anak tunggal. Tapi saudara jauh ada”
“Saya termasuk dalam saudara jauh mu juga Yun?” tanyanya
“Ha?” ujarku heran
“Hahaha saya bercanda” ucapnya tertawa
“Yun”
“Iya Pak”
Aku
memandang pak Tama beliau juga. jarak aku dengan nya hanya beberapa centi.
Detik kemudian aku merasakan hangat dibibirku. Kurasakan nafas beliau. Aku tidak
bergeming hampir semenit. Beliau mengecup bibirku. Ada aroma kacang dari sate
yang kami makan tadi. Ia memegang kepala belakangku. Beberapa detik kemudian,
kecupan itu berhenti. Aku terdiam, lebih tepatnya tersentak. (kenapa?). ia
memandang kearahku, dalam sekali.
Ia
mengelus pipiku. Menyematkan rambutku ke belakang telinga lalu meletakkan
telapak tangannya di tengkuk belakangku. Aku merasa adegan ciuman ini belum
berakhir. Aku memejamkan mataku kemudian dengan spontan. Untuk beberapa lamanya
aku tidak merasa bibirku dikecup. Kubuka perlahan mataku. Pak Tama tepat di
depan wajahku sambil tersenyum, tertawa lebih tepatnya. Aku malu, malu sekali.
apasih yang aku fikirkan?
Aku
menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Wajahku panas sangking malunya.
Pak Tama membuka perlahan jemariku yang menutupi wajahku. Lalu menggenggam
tanganku dan mengecup bibirku lagi. Aku terkejut. Mataku masih terbuka. Dan
kulihat jelas pori pori wajahnya. Pak Tama berhenti sebentar dan memandangku.
Ia mengecup keningku lembut sekali.
Aku
tersenyum lagi. Kulihat ia meminta izinku. Izin ingin mengecupku kembali. Ku
tutup bibirku dengan telapak tangan.
“Udah”
jawabku
“Ya” jawabnya kemudian “ayok turun” ajaknya.
“Ya” jawabnya kemudian “ayok turun” ajaknya.
“Yun”
Beliau kembali memanggil namaku, aku baru membuka pintu mobilnya untuk turun
“Ya pak” Jawabku “Kenapa?”
“Kapan kamu siap?” tanyanya membuatku bingung
“Siap untuk apa?” tanyaku
“Menikah denganku”
“Me.. Menikah?” tanyaku mengulang-ulang, Menikah.. hal yang bahkan belum kufikirkan
“Ya”
“Kenapa?”
“Ya pak” Jawabku “Kenapa?”
“Kapan kamu siap?” tanyanya membuatku bingung
“Siap untuk apa?” tanyaku
“Menikah denganku”
“Me.. Menikah?” tanyaku mengulang-ulang, Menikah.. hal yang bahkan belum kufikirkan
“Ya”
“Kenapa?”
“Aku
tidak ingin berlama-lama di hubungan yang bukan lagi usiaku Yun. Nana butuh
kamu. Tapi saya tidak mau menikahi kamu dengan Alasan Nana. Saya juga sudah
jatuh cinta sama kamu Yun”
“Sejak kapan?” tanyaku heran
“Sejak kamu memperhatikan Nana seperti anakmu. Dan Nana juga menyukaimu. Sifat dan sikapmu baik, saya yakin kamu bisa jadi Istri dan Ibu yang baik” jelasnya
“Sejak kapan?” tanyaku heran
“Sejak kamu memperhatikan Nana seperti anakmu. Dan Nana juga menyukaimu. Sifat dan sikapmu baik, saya yakin kamu bisa jadi Istri dan Ibu yang baik” jelasnya
Fikiranku
melayang jauh beberapa tahun sebelum hari ini. Pria dihadapanku yang tengah
melamarku adalah pria yang kujatuh cintai pada hari itu. Pada saat ia
menolongku untuk mengeluarkan motor dari parkiran CFD
“Pak”
“Ya” jawabnya
“Jauh sebelum itu saya udah suka sama Bapak”
“Ha?”
“Iya”
“Kapan”
“4 tahun lalu”
“Ha?”
“Iya. Di CFD”
“Kapan?” hanya kata ‘kapan’ yang beliau ulang-ulang menjelaskan keterkejutan pada pernyataanku
“Waktu itu bapak bantu saya diparkiran. Dan pertemuan kita disekolah adalah pertemuan ke dua. Sejak hari itu saya menyebut bapak dalam doa saya. Setiap shalat, saya berdoa ingin bertemu dengan bapak lagi. Waktu itu saya dapat tawaran menjadi guru Nana. Tapi saya tidak tau bapak adalah ayahnya Nana. Begitu tau, saya bahagia dan juga kecewa. Karna saya fikir olin adalah mama nya Nana. Dan begitu tau bahwa olin adalah tante nya saya merasa ada yang melegakan. Lega pada hal yang saya tidak tau. Dan hari ini, bapak melamar saya. Saya siap. Kapanpun saya siap menjadi istri bapak. Mendampingi bapak dan menjadi ibu Nana, juga anak kita kelak. Tapi saya berasal dari keluarga yang berbeda dengan Bapak. Saya yatim piatu. Apakah bapak tidak keberatan dengan itu?” tanyaku, air mataku menetes kemudian
“Ya” jawabnya
“Jauh sebelum itu saya udah suka sama Bapak”
“Ha?”
“Iya”
“Kapan”
“4 tahun lalu”
“Ha?”
“Iya. Di CFD”
“Kapan?” hanya kata ‘kapan’ yang beliau ulang-ulang menjelaskan keterkejutan pada pernyataanku
“Waktu itu bapak bantu saya diparkiran. Dan pertemuan kita disekolah adalah pertemuan ke dua. Sejak hari itu saya menyebut bapak dalam doa saya. Setiap shalat, saya berdoa ingin bertemu dengan bapak lagi. Waktu itu saya dapat tawaran menjadi guru Nana. Tapi saya tidak tau bapak adalah ayahnya Nana. Begitu tau, saya bahagia dan juga kecewa. Karna saya fikir olin adalah mama nya Nana. Dan begitu tau bahwa olin adalah tante nya saya merasa ada yang melegakan. Lega pada hal yang saya tidak tau. Dan hari ini, bapak melamar saya. Saya siap. Kapanpun saya siap menjadi istri bapak. Mendampingi bapak dan menjadi ibu Nana, juga anak kita kelak. Tapi saya berasal dari keluarga yang berbeda dengan Bapak. Saya yatim piatu. Apakah bapak tidak keberatan dengan itu?” tanyaku, air mataku menetes kemudian
“Siapapun
kamu, saya suka kamu karna dirimu. Saya cinta kamu karna dirimu.” Pak tama
mengusap air mataku
“Terimakasih
pak” jawabku
“Mas, mulai hari ini kamu panggil Mas Tama ya” ucapnya
“Iya Mas” ucapku malu, lalu menundukkan wajahku
“Ayok turun” kemudian Mas Tama membuka pintu dan meraih jemariku.
“Sebentar” lanjutnya. Ia mengambil sesuatu dari dashbord mobilnya yang berada didepanku. Kulihat sebuah kotak cincin berwarna merah. Ia membuka nya dan menyematkan dijariku dalam posisi aku masih duduk dikursi mobil sementara ia berdiri diluar mobil “Menikahlah denganku Yun”.
“Mas, mulai hari ini kamu panggil Mas Tama ya” ucapnya
“Iya Mas” ucapku malu, lalu menundukkan wajahku
“Ayok turun” kemudian Mas Tama membuka pintu dan meraih jemariku.
“Sebentar” lanjutnya. Ia mengambil sesuatu dari dashbord mobilnya yang berada didepanku. Kulihat sebuah kotak cincin berwarna merah. Ia membuka nya dan menyematkan dijariku dalam posisi aku masih duduk dikursi mobil sementara ia berdiri diluar mobil “Menikahlah denganku Yun”.
Aku
mengangguk. Air mataku menetes. Lelaki ini, tidak pernah kubayangkan menjadi
pendampingku tapi terus kusebut dalam doaku. Lelaki ini tidak pernah kumimpikan
akan menjadi suamiku. Tapi tak pernah absen kupintakan pada-Nya. Allah membayar
lunas permintaanku tanpa babibu, tanpa basa-basi. Tanpa embel-embel. Allah
berikan langsung permintaanku sejak empat tahun yang lalu. Seseorang yang
kusebut dalam doa, DIA hadirkan dalam nyata
Mas
Tama menuntunku berdiri. Aku berdiri dihadapannya. Ia menyeka air mataku lalu
menarik pingganggku dan memelukku.
“Cincin
ini kugunakan waktu melamar Mama nya Nana” bisik Mas Tama tepat di telingaku
“Ha?” sentakku kaget
“Ha?” sentakku kaget
Mas Tama
melepaskan pelukannya lalu menggenggam tanganku dan berjalan menuju rumah.
“Kalau
tidak memikirkan tetangga melihat kita, aku ingin terus memelukmu Yun” ucap Mas
Tama. “Sungguh, aku sudah memendam rasa ini begitu lama. Takut kau meninggalkan
Nana karna ku” sambungnya
“Ya Mas. Segera akan kita urus administrasi pernikahan kita”
“Kamu mau pernikahan seperti apa?”
“Saya?”
“Ya”
“Yang sederhana saja Mas. Kalau merepotkan tanpa resepsi juga saya tidak masalah”
“MasyaAllah. Calon istri ku memang berbeda dari gadis kebanyakan”
“Ah Mas ini. Saya anak tunggal. Tidak punya saudara. Sekalipun resepsi mewah, tidak ada pihak saudara saya yang hadir” ucap Yuni, suara nya lirih sekali.
“Mulai hari ini, kamu adalah saudara saya. Kita akan bersama sampai Allah memisahkan kita karna kematian. Saya adalah saudara kamu. Nana adalah putri kita. Kamu juga punya Olin dan suaminya. Kamu jangan sedih lagi. Bahagialah denganku Yun. Dampingi aku”
“Ya Mas. Segera akan kita urus administrasi pernikahan kita”
“Kamu mau pernikahan seperti apa?”
“Saya?”
“Ya”
“Yang sederhana saja Mas. Kalau merepotkan tanpa resepsi juga saya tidak masalah”
“MasyaAllah. Calon istri ku memang berbeda dari gadis kebanyakan”
“Ah Mas ini. Saya anak tunggal. Tidak punya saudara. Sekalipun resepsi mewah, tidak ada pihak saudara saya yang hadir” ucap Yuni, suara nya lirih sekali.
“Mulai hari ini, kamu adalah saudara saya. Kita akan bersama sampai Allah memisahkan kita karna kematian. Saya adalah saudara kamu. Nana adalah putri kita. Kamu juga punya Olin dan suaminya. Kamu jangan sedih lagi. Bahagialah denganku Yun. Dampingi aku”
“Ya Mas”