Azri
Affandi
Pak
kades meminta kami untuk datang kekantor desa pada tanggal 14 Agustus untuk
bergotong royong bersama warga membersihkan lapangan dan memasang atribut 17an
yang untuk memeriahkan acara 17 tahun ini. Aku bersama Fitri sudah lebih dahulu
sampai kekantor desa karena mendapat tumpangan dari posko hingga kekantor desa
sementara rekan KKN yang lain masih diperjalanan menuju kantor desa.
Pagi
itu Aku dan Fitri langsung mendapat tugas mengecat tiang bendera yang ada di
halaman kantor desa. Beberapa warga masyarakat kulihat mengerjakan beraneka
macam kegiatan seperti memotong-motong bambu untuk dipasangi bendera, membakar
sampah, memotong rumput, menebas belukar, mengecat botol aqua dengan warna
merah dan putih.
“Biasanya kalau 17
agustus selalu ada kegiatan upacara pagi ya pak?” Tanyaku
pada seorang bapak-bapak yang terakhir kuketahui adalah sekretaris desa
“Iya dek. Namanya
peringatan 17 agustus, kalau gak ada upacara bendera berarti gak menghargai
perjuangan pahlawan ketika masa perang dulu”. Jawab
bapak itu kemudian
Aku
kemudian berfikir apakah di Duri juga ada peringatan 17 agustus yang dihadiri
oleh masyarakat sebagai peserta upacara? Kukira tidak. Setiap tahun memang ada
peringatan dan upacara bendera di lapangan bola kecamatan namun mansyarakat
tidak ikut sebagai peserta. Hanya perwakilan dari beberapa siswa dari tiap SMA
Negri.
“Diduri, didaerah saya
juga selalu ada peringatan 17 agustus. Ada upacara benderanya juga pak. Tapi
masyarakat gak ikut upacara. Hanya anak sekolah yang mewakili saja”.
Jawabku kemudian
“Ya beda daerah, beda
kebiasaan saja dek” Jawab bapak itu lagi
Ketika akan melanjutkan kegiatan membuat
atribut 17an. Handphoneku berdering, secepat kemudian aku melihat layar
handphoneku. Tak ingin jika seluruh tatapan masyarakat berpindah kearahku
karena dering handphoneku yang “lumayan” aneh. Bagi masyarakat tentunya, tapi
tidak bagiku
Bapak
ucapku
kemudian, ketika melihat nama si penelepon. Ayahku. Ada apa ya? Fikirku lagi.
Sudah lebih tiga bulan kami tidak lagi komunikasi dan sejak aku duduk dikelas 2
SMP aku tidak lagi sedekat Ayah dan Anak pada umumnya.
“Hallo,
Assalamualaikum” sapaku
“Walaikumsalam”
jawab
diseberang
“Ada
apa Pak?” Tanyaku
“Esi
apa kabar? Masih KKN? Sekarang lagi ngapain?” Tanya
lelaki diujung telfon
“Esi
baik Pak, sekarang lagi dikantor Desa tempat KKN, ngecat tiang bendera.
Alhamdulillah sehat. Bapak gimana?” Tanyaku kemudian
“Bapak
baik, hebat ya sekarang dikampung orang. Anak bapak udah jadi orang sebentar lagi. Entah masih ingat sama
bapaknya nanti entah enggak. Bapaknya kan gak ada bantu apa-apa kalau anak
bapak sukses, ya suksesnya bukan karna bapaknya. Karna abang-abang dan orang
lain”. Ucap lelaki yang kupanggil “Bapak” hingga hari ini
“Bapak
nelfon esi cuma mau bilang kalimat kayak gini?” Tanyaku
kesal. Baiku tidak penting siapa yang berada dibalik kesuksesanku. Tidak
penting seberapa besar orang terus membantuku dalam menyelesaikan studiku. Baik
ayah angkat dan ibu angkatku. Baik saudara sedarahku. Dia- Lelaki itu- Akan
selalu menjadi “AYAH” yang akan terus kuhormati., akan terus kusayangi, akan
terus menjadi RAJA meskipun aku kelak akan menemukan pangeran untuk
mendampingiku, menggantikan posisinya dalam menanggung segala baik dan burukku.
Bukan kalimat seperti itu yang seharusnya beliau ucapkan disaat aku tengah
berada jauh dari keluarga, berada dipedalaman kampung orang hanya sendirian
tanpa Ibu atau Abang.
“Bapak
ngomong apa sih? Esi lagi gak mau dengar yang kayak gitu. Nanti esi telfon
lagi, esi lagi dikantor desa” Ucapku kemudian
langsung mematikan telfon sambil menahan tangis
Ayah, takkan habis air mataku hanya
untuk mengingat betapa buruknya diperlakukan tidak layak sebagai anak. Tidak
diberikan makan, tidak diberikan pendidikan, dan ditinggalkan hanya untuk
kebahagiaan lain. Untuk mengurusi keluarga baru dan kami menjadi lima anak
terlantar tanpa Ayah. Masihkah hatimu tega melukaiku? Kami salah apa? Kami
tidak pernah mendapat jawaban untuk pertanyaan kami. Apakah kami adalah anak
yang tidak baik sehingga Kau malu punya anak seperti kami?
Ayah. Cinta pertama seorang anak
perempuan yang hanya terbagi untuk suaminya kelak. Ayah, cinta yang takkan
pernah menyakiti anak perempuannya. Seharusnya. Tapi dalam kisah perjalanan
cinta dan hidupku. Ayahlah, lelaki pertama yang mengajarkan aku betapa di
khianati, diselingkuhi dan dibuang
itu begitu sakit.
Aku baru berusia 11 tahun saat aku
benar-benar paham bahwa diduakan itu sangat tidak adil. Meskipun kita ingin
mencari jawaban, meskipun kita ingin sekali berteriak kenapa harus terjadi pada
keluarga kita dan bukan orang lain, meskipun kita ingin lari dan tidak ingin
menghadapinya, dan berjuta meskipun lainnya. Jawaban terbaik yang Allah
sediakan adalah “AKU PUNYA RENCANA YANG LEBIH BAIK UNTUKMU DARIPADA APA YANG
KAU FIKIRKAN”
Aku melanjutkan tugasku untuk mengecat
tiang bendera, tidak terasa olehku air mataku menetes tanpa izinku. Ia berhasil
jatuh tanpa ampun membuatku sesegukan. Aku tidak ingin keadaan seperti ini.
Kusapu air mataku yang mulai terasa karna sahabatku Fitri menyapaku
“kenapa
buk?” tanyanya ketika melihat aku menangis
“Eh,
gak kenapa-kenapa sayang” Jawabku kemudian
”Siapa
yang nelfon?” Tanyanya lagi
“Bapak”
Jawabku
singkat
Fitri terdiam. Dalam fikiranku mungkin
dia mengapa aku menangis setelah menerima telfon. Jelas, mungkin aku bertengkar
dengan Ayahku. Mungkin ada hal yang menyakitiku keluar langsung dari mulut
lelaki tersayangku itu.
“Ada
apa?” Tanyanya kemudian sambil menyentuh pundakkku
Aku menatap matanya. Ingin aku
memeluknya segera jika tidak kupandangi sekelilingku banyak warga yang tengah
melakukan beraneka kegiatan. “Aku
bertengkar” Jawabku singkat
Fitri tidak berkomentar lagi. Dia hanya
menepuk-nepuk pundakku. “Sabar buk,
jangan terlalu difikirkan apa yang dibilang sama Bapak Ibuk” ucapnya
menyabarkan. Aku hanya menjawab dengan satu anggukan “Wah, orang-orang pada liatin kita buk” ucapku kemudian. Lalu kami
tertawa, entah menertawakan apa. Lalu kami melanjutkan pekerjaan kami.
Bagiku wanita ini begitu pengertian.
Tidak hanya sebagai sepasang teman dalam kelompok KKN, wanita yang kukenal
sebulan lalu ini benar-benar sudah seperti saudara dan keluarga.
Kami tidak hanya berbicara tentang kisah
diKKN tapi juga tentang keluarga dan pengalaman pribadi. Bagiku, dia sudah
sepaket lengkap seorang sahabat. Saling berbagi, saling menjaga dan saling
melindungi. Itulah kenapa aku tidak pernah merasa segan untuk berbagi
dengannya.
Setelah menyelesaikan tugas kami di
kantor desa. Kami membantu pemuda dan anak-anak yang membersihkan lapangan
desa. Lapangan yang besok akan menjadi tempat dimana Bendera Merah Putih
berkibar didesa ini, lapangan dimana akan dilaksanakannya pesta rakyat nan
meriah serta lapangan yang akan mengawali perkenalanku dengan seorang bernama Azri Affandi.
...
Aku berjalan kaki menuju lapangan desa
bersama Fitri sambil menggenggam segelas Teh dalam kemasan yang disediakan pak
Kades ketika dikantor desa tadi. Jarak dari kantor desa kelapangan hanya 400m.
Disepanjang jalan banyak pemuda yang baru selesai memasang bendera serta
atribut merah dan putih. Sudah terasa betapa 17 agustus akan menyapa desa ini
dengan pesta yang meriah. Beberapa hari lagi.
Kami sampai dilapangan dan beberapa
rekan Kebangsaan kami tengah mencoba gerakan untuk pengibaran bendera pada pagi
17 agustus esok. Aku dan fitri sedikit berlari mendekati Adrian dan Alfu yang
sedang berlatih.
Abidah dan Bunga duduk dibawah pondok
yang kemudian menjadi anjungan untuk penjurian dalam pertandingan sepak bola
yang diadakan didesa ini sambil memegang jambu air yang diberikan warga desa
untuk kami. Didesa ini kami setiap hari menerima pemberian warga desa, baik itu
makanan yang siap makan, buah-buahan, ikan, udang maupun bahan mentah lainnya
seperti sayur mayur dan cemilan-cemilan ringan.
...
Aku tengah asyik dengan permen tangkaiku
ketika seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun memandang dan memanggil
kearahku. Seorang anak yang belum kukenal nama dan tempat tinggalnya.
“Kak”
“Kak”
“Kak”
“Kakak?”
tanyaku
padanya sambil menunjuk diriku sendiri untuk memastikan apa benar aku yang dia
panggil atau rekan KKN yang lain. Seingatku aku tidak pernah mengenal anak
remaja ini sebelumnya. Jadi bagaimana bisa dia memiliki kepentingan denganku,
terfikir kembali olehku wajah seorang bocah yang kukenal dengan nama Raden Prayugo
“Iya
kakak” jawabnya sambil mengangguk
“Kenapa?”
Tanyaku.
Lalu mendekatinya
“Kak,
mau ikut gak kak?” Tanyanya kemudian
“Kemana?”
tanyaku kembali
“Nyari
rambutan kak, mau gak?”
Mendengar kalimat rambutan Aku langsung
bersemangat. Kutinggalkan Fitri, Bunga, Abidah, Adrian dan Alfu yang tengah
berbolak-balik mencoba gerakan untuk dipatenkan dalam pelaksanaan upacara pada
pagi 17 agustus “Aku pergi dulu ya Guys”
ucapku sambil melambaikan tangan.
Fitri hanya memandang dan melambaikan
tangan. Tidak bertanya aku akan kemana, karna tidak ada waktu untuk itu. Anak
kecil ini sudah membawaku kabur.
Fandi menghidupkan motornya untuk
kemudian menunggu aku membonceng dibelakangnya. Motor meninggalkan lapangan
bola menuju sebuah rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor desa.
Fandi mematikan motornya dan langsung menuju belakang rumah dimana tumbuh
banyak pohon rambutan yang sedang berbuah merah. Aku mengikutinya dari belakang
“Rumah
siapa ini Fan?” Tanyaku saat akhirnya mengetahui bahwa nama anak yang
membawaku adalah Fandi
“Rumah saudara Pandi kak, adeknya mamak” Jawabnya
singkat
“Gak papa kita langsung ambil rambutannya? Nanti kita
diteriakin maling” Ucapku takut kalau-kalau si pemilik
rumah datang dan menyangka kami maling
Anak kecil itu tertawa melihat
ekspresi takutku. ”Enggaklah kak, yang
punya rumah ada di lapangan bola tadi. Lagian ini rumah Pandi juga. Jadi gapapa
ambil langsung rambutannya” Jawabnya sambil memanjat batang pohon rambutan
yang lumayan tinggi itu “Hati-hati Pan” Kataku
memperingatkan. Terbayang tingginya pohon yang tengah ia panjat dan apa jadinya
kalau anak ini jatuh, sudah pasti aku akan ikut terbawa-bawa fikirku.
Beberapa menit kemudian Fandi
melemparkan beberapa tangkai batang rambutan dengan buahnya yang merah merekah.
Tidak terkira betapa bahagianya aku ketika menyambut buah-buah rambutan. “Lagi Pan” ucapku kesenangan, tidak lagi
memperdulikan seberapa tinggi batang rambutan diatasku. Aku ingin memanjat juga fikirku
Namun niat untuk ikut memanjat pohon
rambutan itu kuurungkan ketika melihat betapa banyaknya semut yang ikut
berpartisipasi dalam menikmati buah rambutan dipohon itu. Bukan karna takut
pada makhluk kecil ciptaan Allah itu, tapi karna makhluk kecil itu bersama
teman-temannya. Jika sendiri mah, aku hadapi. Sini, ayo sini. Racauku mulai tidak waras
“Fandi,
udah yok. Udah banyak banget nih. Banyak semut juga, nanti teman-teman kakak
pada nyariin” Ucapku ketika mulai kesal beberapa semut tengah menggerayangiku
disekujur tubuh. Kaki, kepala, muka, lengan dan jari-jari tanganku.
“Iya kak” Jawabnya kemudian.
Lalu turun dari pohon rambutan.
Kami pulang membawa beberapa
tangkai rambutan merah untuk dibagikan kepada rekan KKN ku yang lain. Sudah
terbiasa bagi kami untuk saling berbagi antara satu dengan yang lainnya didesa
ini. Meskipun kami hanya dipersatukan dalam beberapa hari diposko yang kemudian
akan menjadi kenangan, ikatan lewat kesamaan nasib dan pengalaman didesa ini
membuat kami menjalin rasa kasih sayang lebih dalam lagi dari sekedar sebagai
teman.
Warga desa ini mengajarkan kepada
kami tentang banyak hal. Keramahan dan kebaikan yang warga desa tunjukkan
kepada pendatang telah menular kepada kami sebagai warga sementara desa Teluk Binjai. Kehangatan dan kekeluargaan
antar sesama warga desa membuat kami merasa nyaman dan mulai betah secara
perlahan. Kalimat “ (Aku ingin pulang)
yang kuucapkan diawal perkenalan dengan desa ini perlahan-lahan mulai memudar.
Desa ini tidak punya apa-apa. Tapi desa ini telah dengan apa-adanya membuatku
jatuh cinta. Pada setiap detikku didesa ini”
Jatuh cintanya aku pada kehidupan
dan keseharian didesa ini, pada masyarakat dan juga anak-anaknya tidak terlepas
dari peran seorang anak kecil kelas 2 SMP yang nanti akan menangis paling keras
dan paling lama pada saat bus meninggalkan desa untuk kemudian membawa kami
kembali ke daerah masing-masing. Azri Affandi
2 komentar:
cie..cieee
kenapa ubaaaai?
Posting Komentar