Tamak
Taek Ingkak ni...
Hari
ketiga di posko telah banyak informasi tentang kebakaran lahan kami dapatkan dari masyarakat termasuk dari
seorang warga yang bernama Bapak Jaelani. Beliau begitu berapi-api ketika
menyampaikan pasal tanah desa yang digunakan oleh sebuah perusahaan didesa
Teluk Binjai. beliau begitu senang ketika mendapati ada anak KKN yang sedang
mengabdi di desa Teluk Binjai dengan harapan bisa menyampaikan aspirasinya
kepada Presiden Joko Widodo.
‘Apa peduli saya
terhadap keluhan Anda? Dan apa peduli saya harus menyampaikan kepada pak
Jokowi’ fikirku ketika beliau menyampaikan harapannya kepada
kami saat berkunjung ke posko dihari ketiga.
Aku
begitu muak untuk mendengarkan keluhan masyarakat tentang kebakaran hutan dan
lahan, tentang pemerintah yang tidak memberikan solusi lain untuk membuka lahan
tapi terus melarang pembakaran lahan dan memenjarakan masyarakat yang membakar
lahan, tentang mereka yang menjadi susah dalam mencari nafkah untuk keluarga
mengingat tidak ada tumbuhan yang bisa hidup jika tanah tidak dibakar dalam
proses buka lahan, tentang air bersih, tentang listrik, terutama pernyataan
mereka mengenai perusahaan yang membakar lahan tidak ditutup atau dicabut
izinnya sementara jika masyarakat yang membakar lahan akan langsung dipenjara.
Ketika
mereka menceritakan ini dan itu aku hanya mengangguk lalu tersenyum. Namun
sebenarnya aku tidak serta merta membenarkan pernyataan mereka, ada hal yang tidak kusetujui. Mungkin
karna aku tidak merasakan penderitaan mereka selama berpuluh-puluh tahun atau
karna memang aku hanya menganggap mereka mencari pembenaran atas kesalahan yang
mereka lakukan. Entahlah, yang jelas aku begitu muak dan sudah tidak ingin
mendengarkan keluhan masyarakat. Bukan karna aku membenci segala cerita mereka,
tetapi karna aku merasa tidak seharusnya berada didesa ini untuk menuntaskan
asap.
Untuk
menjadikan Indonesia makmur dan terbebas dari asap terutama Riau yang merasakan
dampak asap selama lebih kurang 18 tahun bukan hal mudah. Tidak hanya sulit
tapi sangat sulit. Hal yang harus dituntaskan adalah kebiasaan selama
berpuluh-puluh tahun. Lantas apa harus diganti pemimpinnya? Atau dipenjara
seluruh warganya? Entahlah, yang jelas aku sudah jenuh. Pada segala hal~
Bagiku
antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan sama-sama pihak yang tidak bisa
kupercayai. Intinya mereka adalah perusak, pelaku. Tak boleh ada pembelaan
apapun untuk mereka.
Seorang
anak berperawakan kurus, kecil, botak dan berbicara sembarangan menghampiri aku
dan bertanya
“Ingkak, anak KKN siko e?” tanya anak itu
yang belakangan aku ketahui namanya ‘Raden
Prayugo’
“Ha? Maksudnya?” aku balik bertanya karna ketidakmengertianku dengan bahasa planet yang disebutkan anak tuyul ini
“Ingkak uang mano?” tanyanya kembali
“Aduh dek, kakak gak paham bahasa kamu. Pakai bahasa indonesia ya”
“Ha? Maksudnya?” aku balik bertanya karna ketidakmengertianku dengan bahasa planet yang disebutkan anak tuyul ini
“Ingkak uang mano?” tanyanya kembali
“Aduh dek, kakak gak paham bahasa kamu. Pakai bahasa indonesia ya”
Itu
anak mendadak marah dan pergi sambil meracau tak karuan. Menendang segala apa
yang ada didepannya. Ngeri juga aku membayangkan jika batu yang dia sepak
barusan melayang dan mendarat dijidatku. Hamiiiiiiit amiiiit deh.
Aku,
agung dan Fitri pergi ke Pelabuhan untuk membeli mie rebus. Ditempat ini susah
sekali menemukan warung yang menjual makanan seperti bakso. Jika pengen bakso
harus keluar dari desa menuju kecamatan. Mengendarai motor sekitar 40 menit
dengan tantangan jalan becek dan berlubang. Menyurutkan niat siapapun yang
sedang menginginkan menayantap bakso.
Disekitar
SD 010 ada penjual sate satu-satu didesa Teluk Binjai. Ketika mengidam makanan
khas Padang maka harus mengantri dengan anak sekolah lainnya. Mengantrinya juga
tidak sebentar, tapi lama. Penjualnya lebih mengutamakan anak sekolah
dibandingkan dengan mahasiswa. Kami juga
manusia yang butuh makan Buuuuuk, kasihanilaaah~
Hanya
ada mie rebus yang bisa kami temui jika bosan dengan makanan diposko.
Esoknya
Kami diperintahkan oleh Bapak Kades untuk datang ke kantor desa, ada rapat desa
terkait dana pembangunan jalan desa serta pemberian beberapa berkas yang kami
minta tentang profil desa lewat pak sekdes.
Rapat
desa untuk pertama kalinya berlangsung sangat panas. Bagaimana tidak,
pemikiranku tentang kepala desa yang sangat dihormati dan dihargai hancur sudah
pada hari ini. Masyarakat yang tergolong lebih tua dari pak Kades menunjukkan
secara terang-terangan tidak sepakat dengan apa yang sampaikan pak Kades terkait
pembangunan jalan. Mereka memerintahkan agar keuangan tersebut disampaikan
terlebih dahulu asal dan potongan keuangan desa. Lalu menyarankan pembelian
material yang paling murah.
Niat
kami untuk melakukan diskusi terkait karhutla pun putus saat ketidakyakinan
kami akan mendapatkan jawaban atas apa yang ingin kami tanyakan. Mempertanyakan
hal sesensitif karhutla akan memperburuk situasi yang sudah panas. Akhirnya
kami meninggalkan kantor desa setelah pamitan kepada pak Kades. Lalu duduk
dirumah Bilqis sembari bercerita bersama warga yang juga tengah berkumpul
disana.
Anak
yang kemarin menghampiriku bernama Raden
Prayugo hari ini kembali menghampiriku. Ada sedikit was-was dalam hati jika
saja anak tersebut menendang yang ada disekitarnya lalu benar-benar mengenai
kepalaku atau kepala warga didesa itu. Aduh,
ini anak kampung kenapa deketin gue sih?
“Bagi uit kek ambo (Kasih aku uang)”
perintahnya sembarangan
“Kakak gak ada uang” jawabku kemudian,
menunggu reaksi nya
“Tamak taek ingkak ni (Pelit kali kau
ni)” jawabnya disambut gelak tawa warga disana melihat percakapan kami, lalu
anak itu pergi ke arah teman-teman kkn yang lain untuk kemudian melakukan hal
yang sama.
Makhluk Botak ini Namanya Raden Prayugo, baru SD kelas 2. Awalnya menyebalkan, tapi waktu mau pisah. Dia yang paling berat rasanya buat ditinggal
Kupandangi
saja anak itu sampai pergi dan berhenti ke Ojik yang berasal dari Jakarta. Aku
lihat sekilas Ojik mengeluarkan uang sejumlah dua ribuan. Yang diberikan uang
langsung pergi tanpa kalimat “Terimakasih”,
aku hanya geleng-geleng kepala dengan apa yang kulihat barusan. Anak itu, tidak
akan kulupakan seumur hidupku. Menjadi bagian manis dari puzzle petualangan
didesa Teluk Binjaiku~ hingga akhir Agustus ini~ Inshaa Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar